Ketika mendengar kata "koperasi," mungkin yang terlintas di benak kita adalah semangat gotong royong, kemandirian ekonomi, atau sekadar kenangan meminjam buku di koperasi sekolah. Namun, di balik gambaran sederhana itu, koperasi Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang rumit: open loop dan close loop. Pilihan ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut masa depan koperasi sebagai entitas ekonomi rakyat.
Di tengah perdebatan ini, muncul dua pendekatan besar. Open loop memungkinkan koperasi melayani anggota dan non-anggota, dengan pengawasan berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, close loop membatasi layanan hanya untuk anggota, dengan pengawasan tetap berada di tangan Kementerian Koperasi dan UKM. Kebijakan mana yang akan menjadi arah baru koperasi Indonesia? Kita menanti dengan penuh harap, sambil mencoba memahami implikasi dari masing-masing pendekatan ini.
Open Loop: Koperasi yang Lebih Terbuka, Tapi di Bawah OJK
Konsep open loop dianggap sebagai langkah modernisasi koperasi. Dengan membuka layanan untuk umum, koperasi dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Misalnya, koperasi bisa membuka layanan simpan pinjam untuk masyarakat umum, membuka toko ritel, atau menyediakan platform pembayaran digital yang bisa diakses siapa saja.
Namun, dengan memilih open loop, pengawasan koperasi akan berada di bawah OJK, bukan lagi Kementerian Koperasi. Mengapa? Karena layanan open loop lebih menyerupai lembaga keuangan pada umumnya. Pengawasan oleh OJK dianggap lebih ketat dan sesuai dengan standar industri keuangan modern.
Tentu saja, langkah ini membawa beberapa keuntungan. Dengan pengawasan OJK, koperasi diharapkan lebih transparan, profesional, dan terhindar dari praktik-praktik yang merugikan. Selain itu, akses koperasi ke modal dan kolaborasi dengan lembaga keuangan lain juga menjadi lebih mudah.
Namun, ada sisi lain yang perlu dicermati. Pengawasan oleh OJK bisa jadi terlalu memberatkan bagi koperasi kecil, terutama dari segi biaya dan administrasi. Selain itu, ada risiko koperasi kehilangan identitasnya sebagai lembaga berbasis anggota. Koperasi bisa saja berubah menjadi "perusahaan biasa" yang lebih fokus pada profit daripada kebermanfaatan bagi anggotanya.
Close Loop: Menjaga Tradisi, Tapi Harus Lebih Adaptif
Di sisi lain, close loop menawarkan pendekatan yang lebih tradisional. Layanan koperasi hanya terbatas untuk anggota, dan pengawasannya tetap berada di bawah Kementerian Koperasi. Sistem ini dianggap lebih sesuai dengan prinsip dasar koperasi: dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.
Keunggulan utama dari close loop adalah eksklusivitas yang memberikan perlindungan maksimal bagi anggotanya. Semua keuntungan yang diperoleh koperasi akan kembali kepada anggota dalam bentuk layanan, fasilitas, atau Sisa Hasil Usaha (SHU).