Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer: Warisan Abadi dari Blora untuk Dunia

10 Januari 2025   14:27 Diperbarui: 10 Januari 2025   14:27 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tak hanya terkenal dengan hutan jati yang membentang luas, tetapi juga sebagai tanah kelahiran salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia: Pramoedya Ananta Toer. Tahun 2025 ini, kita merayakan seabad kelahiran Pram, seorang penulis yang bukan hanya menggubah kata menjadi cerita, tetapi juga menanamkan gagasan tentang kemanusiaan, sejarah, dan perlawanan.

Pram dan Kekuatan Narasi

Pram bukan hanya seorang penulis; ia adalah seorang pencerita sejati yang memahami kekuatan narasi. Melalui tetralogi legendarisnya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, Pram mengangkat kisah perjuangan Indonesia melawan kolonialisme. Tokoh Minke, seorang pribumi terpelajar, menjadi medium Pram untuk menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan sosial, eksploitasi, dan kebijakan kolonial yang menindas.

Namun, karya-karya Pram tidak hanya bicara soal sejarah. Ia menggali lapisan terdalam jiwa manusia, menelusuri bagaimana cinta, pengkhianatan, dan keinginan untuk merdeka membentuk identitas individu maupun bangsa. Dengan gaya bahasa yang lugas tetapi penuh makna, Pram membuktikan bahwa sastra bisa menjadi senjata yang lebih tajam dari peluru.

Penderitaan Sebagai Guru Kehidupan

Namun, jalan hidup Pram tidaklah mulus. Ia adalah saksi dan korban dari berbagai babak kelam dalam sejarah Indonesia. Pada masa Orde Lama, ia dipenjara karena dituduh mendukung pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), meski tuduhan itu tak pernah terbukti. Lebih ironis lagi, pada masa Orde Baru, Pram kembali menjadi tahanan politik tanpa proses peradilan yang jelas, dihukum bekerja paksa di Pulau Buru selama 14 tahun.

Alih-alih menyerah, Pram menjadikan penderitaan itu sebagai guru kehidupan. Di Pulau Buru, ia menulis Bumi Manusia dengan memanfaatkan bahan seadanya, mulai dari kertas bekas hingga arang sebagai alat tulis. Ini bukan hanya bukti keteguhan seorang seniman, tetapi juga penghormatan pada kekuatan kata-kata. Sastra baginya adalah perlawanan. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah," kata Pram, dan ia membuktikan kebenaran ucapannya.

Warisan Pram untuk Generasi Kini

Merayakan seabad Pram adalah kesempatan untuk merenungkan relevansi warisannya bagi generasi masa kini. Dalam era digital yang dipenuhi dengan informasi instan dan dangkal, karya-karya Pram mengajarkan pentingnya refleksi mendalam dan pemahaman sejarah. Ia mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak hanya terjadi di medan perang, tetapi juga dalam pikiran dan hati manusia.

Pram juga menjadi pengingat akan pentingnya keberanian untuk bersuara. Dalam konteks Indonesia yang masih bergulat dengan isu kebebasan berekspresi, sikap Pram menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin melawan ketidakadilan. Ia menunjukkan bahwa kebenaran, meskipun pahit, harus disuarakan, bahkan jika itu berarti menghadapi konsekuensi berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun