Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia telah menjadi momok sejak lama. Dari era kolonial hingga sekarang, tanah selalu menjadi sumber konflik, baik itu konflik agraria antara petani dan korporasi, antara masyarakat adat dan pemerintah, atau bahkan antarindividu. Di tengah carut-marut itu, hadir sebuah solusi bernama Badan Bank Tanah, yang digadang-gadang mampu menjawab berbagai masalah agraria sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, apakah solusi ini benar-benar bisa menjadi dewa penyelamat atau justru sekadar tambal sulam kebijakan?
Mengurai Masalah Agraria di Indonesia
Mari kita mulai dengan sebuah fakta menyakitkan: 1% elit Indonesia menguasai 59% tanah produktif di negeri ini. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 juga mencatat, konflik agraria masih terjadi di berbagai wilayah, dengan sekitar 201 kasus konflik pada tahun tersebut, mencakup area lebih dari 500 ribu hektar tanah. Sebagian besar kasus ini melibatkan masyarakat kecil—petani, nelayan, atau masyarakat adat—yang kehilangan hak atas tanah mereka.
Ironisnya, masalah ini sering kali dipicu oleh kebijakan pemerintah sendiri. Misalnya, program land grabbing berkedok pembangunan, seperti pembukaan lahan untuk industri atau infrastruktur, sering kali tidak diimbangi dengan ganti rugi yang layak. Akibatnya, masyarakat kehilangan mata pencaharian, sementara segelintir pihak menikmati keuntungan besar.
Di sisi lain, masalah tanah tidur juga tak kalah pelik. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan bahwa ada jutaan hektar tanah terlantar di Indonesia yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Tanah ini, yang seharusnya bisa digunakan untuk mendukung produktivitas masyarakat, malah menjadi lahan kosong tanpa nilai ekonomi.
Badan Bank Tanah: Solusi Baru atau Lama yang Didaur Ulang?
Badan Bank Tanah lahir dari kebutuhan untuk mengelola tanah secara lebih adil dan efisien. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan tugas utama mengelola, mendistribusikan, dan mengoptimalisasi pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat. Singkatnya, Badan Bank Tanah bertugas menjadi "penengah" antara tanah terlantar dan masyarakat yang membutuhkan lahan.
Ada empat fungsi utama Badan Bank Tanah, yaitu:
- Menghimpun tanah: Mengambil alih tanah-tanah terlantar, tanah negara, atau tanah yang tidak dimanfaatkan.
- Mendistribusikan tanah: Memberikan tanah kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti petani kecil atau kelompok masyarakat adat.
- Mengelola tanah: Mengoptimalkan penggunaan tanah untuk kegiatan produktif, seperti pertanian, perumahan rakyat, atau pembangunan infrastruktur sosial.
- Menyelesaikan konflik agraria: Menjadi mediator dalam sengketa tanah.
Secara teori, ini terdengar sangat ideal. Namun, mari kita telaah lebih jauh: bagaimana praktiknya di lapangan?
Kritik dan Tantangan Implementasi