Pertama, libur panjang selama Ramadan tentu memberi anak-anak waktu yang cukup untuk ikut serta dalam kegiatan keagamaan. Dari belajar membaca Al-Qur'an, menghadiri pesantren kilat, hingga membantu orang tua mempersiapkan buka puasa, semuanya menjadi pengalaman mendidik di luar kelas.
Kedua, bagi keluarga di pedesaan, libur Ramadan bisa menjadi momen berharga untuk mempererat hubungan. Anak-anak yang biasanya sibuk dengan sekolah dan tugas, kini punya lebih banyak waktu bersama keluarga. Apalagi, Ramadan sering dimaknai sebagai waktu untuk memperkuat ikatan sosial.
Ketiga, dari sisi pendidikan karakter, pengalaman Ramadan yang lebih intens dapat membantu anak-anak membangun kedisiplinan, empati, dan rasa tanggung jawab. Nilai-nilai ini sulit diajarkan melalui buku teks semata.
Tantangan yang Harus Dijawab
Namun, wacana ini tidak bebas dari kritik. Libur sekolah sebulan penuh menimbulkan sejumlah tantangan yang perlu dipikirkan matang-matang.
1. Kesenjangan Pembelajaran
Dalam sistem pendidikan kita, jeda belajar terlalu lama berpotensi menurunkan capaian akademik. Libur panjang tanpa strategi belajar yang terstruktur bisa membuat anak lupa materi pelajaran. Ini khususnya menjadi masalah bagi siswa yang menghadapi ujian akhir setelah Ramadan.
2. Tidak Semua Keluarga Mendukung
Bagi keluarga yang bekerja di sektor formal, terutama di kota, keberadaan anak di rumah selama sebulan penuh bisa menjadi beban tambahan. Tidak semua orang tua mampu menyediakan kegiatan produktif bagi anak-anak selama libur Ramadan.
3. Kesetaraan dalam Kebijakan
Indonesia adalah negara dengan keragaman agama yang besar. Kebijakan libur panjang selama Ramadan berpotensi menimbulkan kecemburuan dari kelompok non-Muslim. Bagaimana memastikan kebijakan ini inklusif dan tidak mengorbankan keadilan sosial?