Hari pencoblosan Pilkada Bojonegoro 2024 sudah berlalu, namun ada cerita yang mengganjal: dari target 85% partisipasi yang dipatok KPU, hanya 78% pemilih yang hadir di TPS. Selisih 7% ini mungkin terlihat kecil di atas kertas, tapi dalam demokrasi, setiap suara adalah cerminan kepercayaan rakyat. Jadi, apa yang membuat kehadiran pemilih tidak sesuai harapan? Mari kita kupas pelan-pelan.
Antusiasme yang Meredup
Dalam semarak Pilkada, KPU Bojonegoro sudah bekerja keras. Sosialisasi digalakkan melalui berbagai media, dari poster, spanduk, hingga kampanye di media sosial. Tak hanya itu, komunitas lokal dan tokoh masyarakat pun digandeng untuk mengajak warga menggunakan hak pilih. Namun, kenyataan berkata lain.
Salah satu alasan yang sering terdengar adalah minimnya daya tarik kandidat. Bagi sebagian pemilih, kandidat yang bertarung tidak cukup memberi harapan baru. Mereka mungkin terlihat seperti "wajah lama dengan janji baru." Akibatnya, banyak yang merasa tak ada bedanya, siapa pun yang terpilih.
Mengapa Rakyat Menjauh?
Ada beberapa alasan mendasar mengapa partisipasi pemilih tidak mencapai target. Pertama, rasa apatis yang mengakar. Ini bukan apatis yang lahir dalam semalam, melainkan akumulasi kekecewaan dari pemilu ke pemilu. Janji-janji manis yang tidak terealisasi, kebijakan yang jauh dari kebutuhan rakyat, hingga korupsi yang terus berulang, semua itu membuat sebagian orang berpikir, "Untuk apa memilih?"
Kedua, logistik dan aksesibilitas. Bagi sebagian warga di pedesaan Bojonegoro, lokasi TPS yang jauh menjadi penghalang. Ketika harus memilih antara pergi ke TPS atau bekerja di ladang untuk penghasilan sehari-hari, pilihan logis bagi mereka jelas bukan politik.
Ketiga, kurangnya pendidikan politik. Banyak warga yang belum memahami betul pentingnya suara mereka. Ini bukan semata-mata soal tidak mau peduli, tapi mereka belum merasa bahwa satu suara bisa membawa perubahan.
Generasi Muda dan Digitalisasi
Generasi muda sering disebut sebagai motor perubahan. Namun, ironisnya, mereka juga menjadi kelompok dengan partisipasi yang cenderung rendah. Padahal, berbagai inovasi digital sudah dilakukan, mulai dari kampanye kreatif di media sosial hingga kolaborasi dengan influencer lokal.
Mengapa ini terjadi? Generasi muda mungkin merasa Pilkada tidak relevan dengan hidup mereka. Bagi mereka, isu-isu besar seperti lapangan kerja, pendidikan, dan teknologi lebih menarik perhatian dibandingkan soal siapa yang akan duduk di kursi bupati. Lagi pula, mereka lebih nyaman "berpendapat" di kolom komentar media sosial daripada datang ke TPS.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Menurunnya partisipasi pemilih ini adalah alarm bagi semua pihak. Ini menunjukkan bahwa demokrasi kita tidak hanya membutuhkan pemilih, tetapi juga kepercayaan. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, perbaiki hubungan antara kandidat dan rakyat. Kampanye harus lebih dari sekadar janji dan jargon. Kandidat perlu benar-benar turun ke masyarakat, mendengarkan suara mereka, dan menjawab kebutuhan mereka secara nyata.
Kedua, tingkatkan pendidikan politik. Ini harus dilakukan secara berkelanjutan, bukan hanya menjelang pemilu. Edukasi ini bisa melibatkan sekolah, komunitas, hingga media lokal untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya partisipasi dalam demokrasi.
Ketiga, adopsi teknologi secara lebih efektif. E-voting, misalnya, bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan partisipasi. Meski membutuhkan infrastruktur yang matang, ini bisa menjadi langkah besar dalam menjangkau pemilih muda dan mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Sebuah Refleksi
Partisipasi pemilih bukan sekadar angka, tapi ukuran seberapa besar rakyat percaya pada sistem politik dan pemimpin mereka. Selisih 7% ini mungkin kecil secara statistik, tapi besar maknanya dalam demokrasi. Ini adalah tanda bahwa kita perlu bekerja lebih keras untuk menjadikan Pilkada lebih inklusif dan relevan bagi semua.
Pada akhirnya, demokrasi adalah soal kepercayaan, bukan hanya pada siapa yang kita pilih, tapi juga pada sistem yang mengatur pilihan itu. Mari kita jadikan Pilkada bukan sekadar ajang politik lima tahunan, melainkan momentum untuk memperkuat hubungan antara rakyat dan pemimpin. Karena di sanalah letak kekuatan demokrasi kita: pada suara rakyat yang didengar, dihargai, dan diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H