Ketika dua isu besar dunia pendidikan---penghapusan zonasi PPDB dan kembalinya ujian nasional (UN)---mencuat, reaksi publik pun beragam. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap nostalgia menuju masa kejayaan pendidikan yang lebih kompetitif. Namun, di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan relevansi kebijakan ini dalam konteks pendidikan modern.
Zonasi PPDB: Antara Pemerataan dan Kendala Teknis
Sistem zonasi PPDB diperkenalkan pada 2017 untuk menjawab isu ketimpangan akses pendidikan. Tujuannya mulia, memastikan siswa dari semua latar belakang dapat mengakses pendidikan bermutu tanpa harus "berlomba" menuju sekolah favorit. Namun, tujuh tahun berjalan, sistem ini justru menghadapi sejumlah tantangan: manipulasi dokumen domisili, pungutan liar, hingga sulitnya siswa luar zonasi mengakses sekolah negeri.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyuarakan kritiknya terhadap zonasi, menyebut sistem ini kurang efektif dalam menciptakan pemerataan pendidikan. "Kunci Indonesia Emas 2045 ada di pendidikan. Sistem zonasi ini harus dihapus," ujarnya dalam sebuah forum. Namun, Indraza Marzuki Rais dari Ombudsman RI mengingatkan, penghapusan zonasi berpotensi mengembalikan fenomena "sekolah favorit", yang dapat memperburuk kesenjangan.
Kembali ke model non-zonasi bisa jadi solusi cepat, tetapi apakah itu langkah tepat? Tanpa zonasi, anak-anak dari daerah tertinggal (3T) mungkin kehilangan kesempatan masuk sekolah unggulan di kota. Jadi, apa yang perlu diperbaiki? Menurut Ombudsman, sistem zonasi bisa dioptimalkan dengan memperbaiki persebaran sekolah, meningkatkan transparansi PPDB, dan memastikan semua sekolah memiliki kualitas pelayanan seragam.
Ujian Nasional: Kompetisi atau Beban?
Setelah dihapus pada 2021, UN kini dipertimbangkan untuk dihidupkan kembali. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menyebut, kajian mendalam masih berlangsung dan keputusan belum diambil. Banyak pihak mendukung UN sebagai tolok ukur capaian pendidikan nasional, namun tak sedikit pula yang mengkritik.
Menurut pakar pendidikan, UN seringkali hanya menilai aspek kognitif siswa, mengabaikan keterampilan lain seperti kreativitas, kolaborasi, dan pemecahan masalah---kompetensi yang justru dibutuhkan di abad ke-21. "Kita butuh penilaian yang lebih komprehensif, bukan sekadar tes berbasis kertas," ujar seorang pengamat pendidikan.
Namun, bagi sebagian orang tua, UN adalah alat seleksi yang dianggap adil. Sistem ini memberikan kepastian dalam menentukan jenjang pendidikan berikutnya. Di sisi lain, UN dinilai membebani siswa dan seringkali memicu stress akademik, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses pembelajaran berkualitas.
Solusi di Tengah Pro-Kontra