Tahun 90-an adalah masa di mana mimpi seorang bocah seperti aku sederhana saja: ingin makan nasi putih dengan ayam goreng setiap hari. Tapi apa daya, di desa kecil kami, yang ada hanya nasi jagung. Dan bukan sekadar nasi jagung biasa, tapi yang sudah dikepal dan dibungkus daun pisang.
Pagi itu, emak sudah sibuk di dapur sejak subuh. Aku yang baru bangun langsung mencium aroma khas daun pisang yang dipanggang di atas tungku. Itu tanda bahwa sarapan kami adalah nasi jagung lagi.
"Le, sini bantuin emak bungkusin nasi!" panggil emak dari dapur.
"Ah, Mak! Nasi jagung lagi? Kenapa nggak nasi putih, sih?" keluhku sambil menyeret sandal jepit menuju dapur.
"Kalau mau nasi putih terus, jadi anak orang kota aja! Di sini kita makan apa yang ada, Le," jawab emak sambil melipat daun pisang dengan cekatan.
Di meja, sudah ada nasi jagung yang masih mengepul, ditambah lauk sederhana: sambal terasi, ikan asin, dan tumis daun singkong. Kombinasi yang sudah hafal di lidah, tapi tetap bikin aku mendesah pelan setiap kali melihatnya.
"Ayo bungkus! Nanti telat sekolah," ujar emak sambil menyodorkan selembar daun pisang.
Dengan malas, aku mulai membungkus nasi jagung. Aku tak ahli, jadi bentuk bungkusanku mirip bola yang penyok.
"Le, itu bungkus nasi atau bungkusan bom?" ejek emak sambil tertawa.
Aku ikut tertawa, meski sedikit kesal. Setelah semua nasi terbungkus, emak memasukkan dua bungkus ke tas sekolahku. Satu untuk sarapan di sekolah, satu lagi untuk bekal saat main sepak bola sore nanti.