Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Keadilan Ekologi di Lembaga Masyarakat Daerah Hutan Bojonegoro: Mengapa Harus Peduli?

6 Desember 2024   17:29 Diperbarui: 6 Desember 2024   17:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hutan Gundul | radarkediri.com

Ketika Anda sedang duduk santai di bawah pohon jati yang rindang, merasakan angin sepoi-sepoi, sambil memandangi hamparan hijau hutan Bojonegoro. Tiba-tiba, Anda mendengar suara krek!—sebatang pohon tua yang telah berdiri gagah selama puluhan tahun tumbang begitu saja, ditebang tanpa ampun. Siapa yang salah? Pemotongnya? Pembeli kayunya? Atau sistem yang membuat mereka terjebak dalam siklus ini?

Di sinilah isu keadilan ekologi masuk ke dalam percakapan kita, bukan sekadar istilah akademik, tetapi sebagai kebutuhan nyata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik tersebut.

Apa Itu Keadilan Ekologi?

Mari kita sederhanakan. Keadilan ekologi bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga memastikan manusia yang bergantung pada alam tidak menjadi korban dari kerusakan atau kebijakan yang tidak adil. Di daerah hutan seperti Bojonegoro, di mana masyarakat sekitar menggantungkan hidup pada hasil hutan, keadilan ekologi adalah soal hidup dan mati—secara harfiah.

Bayangkan para petani hutan yang setiap hari memungut daun jati kering untuk dijual. Ketika hutan dirusak tanpa kontrol, mereka kehilangan sumber penghidupan. Sebaliknya, jika akses ke hutan dibatasi secara ketat tanpa solusi alternatif, mereka juga akan kesulitan. Jadi, keadilan ekologi adalah soal mencari keseimbangan—antara menjaga alam dan memenuhi kebutuhan manusia.

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH): Pahlawan atau Sekadar Nama?

Di Bojonegoro, LMDH hadir sebagai salah satu lembaga yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pengelola hutan. Namun, apakah lembaga ini benar-benar efektif? Jangan salah, LMDH sering kali menghadapi tantangan besar, mulai dari dana yang minim, keterbatasan kapasitas, hingga, ya, politik lokal yang suka bikin kepala pening.

Misalnya, ketika ada program reboisasi, sering kali masyarakat hanya dilibatkan secara simbolis—sekadar mencangkul dan menanam, tanpa diberi peran lebih dalam perencanaan. Padahal, siapa yang lebih paham tentang hutan kalau bukan mereka yang tinggal di sekitarnya? Alih-alih menjadi aktor utama, mereka hanya jadi figuran di panggung besar bernama proyek pemerintah.

Ilustrasi Hutan Gundul | okezonenews.com
Ilustrasi Hutan Gundul | okezonenews.com

Peluang Keadilan Ekologi di Bojonegoro

Sebelum kita pesimis, ada kabar baik. Banyak komunitas lokal mulai menyadari pentingnya menjaga hutan dengan pendekatan berkelanjutan. Ada kelompok yang memanfaatkan daun jati untuk kerajinan tangan, mengurangi ketergantungan pada penebangan pohon. Ada juga program ekowisata kecil-kecilan yang memperkenalkan keindahan hutan kepada wisatawan.

Namun, semua ini tidak akan bertahan lama tanpa dukungan nyata. Pemerintah perlu menggandeng masyarakat dengan cara yang lebih tulus. Jangan cuma datang saat mau bikin laporan keberhasilan proyek. Libatkan mereka dalam keputusan besar, mulai dari penentuan zona konservasi hingga pembagian hasil dari pengelolaan hutan.

Sebelum Anda terlalu serius, mari kita rehat sejenak. Ada cerita menarik dari seorang kakek di salah satu desa hutan. Ketika ditanya pendapatnya soal program pemerintah untuk reboisasi, ia menjawab, "Oh, itu bagus, tapi saya bingung. Mereka suruh tanam pohon, tapi juga kasih pupuk buat panen cepat. Jadi ini program hutan atau kebun singkong?"

Kalimat itu, meskipun terdengar lucu, menyiratkan ironi besar: banyak program yang terlihat bagus di atas kertas, tetapi gagal karena kurang memahami konteks lokal.

Arah ke Depan: Mari Kita Serius, Tapi Santai

Keadilan ekologi di Bojonegoro bukanlah utopia. Ini bisa dicapai jika semua pihak bekerja sama dengan hati yang jernih—masyarakat, pemerintah, dan lembaga seperti LMDH. Jangan jadikan isu ini sebagai bahan seminar belaka; buatlah perubahan yang nyata.

Dan bagi kita semua, mari mulai peduli. Saat Anda menikmati furnitur jati yang indah, ingatlah bahwa ada cerita panjang di baliknya—cerita tentang pohon yang tumbuh perlahan, tangan-tangan yang merawatnya, dan harapan untuk masa depan yang lebih hijau.

Karena, seperti yang pernah dikatakan seorang bijak (mungkin tetangga Anda): "Hutan bukan warisan nenek moyang kita. Itu pinjaman dari cucu kita. Jadi, rawat baik-baik, siapa tahu cucu Anda marah kalau hutannya hilang!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun