Ketika Anda sedang duduk santai di bawah pohon jati yang rindang, merasakan angin sepoi-sepoi, sambil memandangi hamparan hijau hutan Bojonegoro. Tiba-tiba, Anda mendengar suara krek!—sebatang pohon tua yang telah berdiri gagah selama puluhan tahun tumbang begitu saja, ditebang tanpa ampun. Siapa yang salah? Pemotongnya? Pembeli kayunya? Atau sistem yang membuat mereka terjebak dalam siklus ini?
Di sinilah isu keadilan ekologi masuk ke dalam percakapan kita, bukan sekadar istilah akademik, tetapi sebagai kebutuhan nyata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik tersebut.
Apa Itu Keadilan Ekologi?
Mari kita sederhanakan. Keadilan ekologi bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga memastikan manusia yang bergantung pada alam tidak menjadi korban dari kerusakan atau kebijakan yang tidak adil. Di daerah hutan seperti Bojonegoro, di mana masyarakat sekitar menggantungkan hidup pada hasil hutan, keadilan ekologi adalah soal hidup dan mati—secara harfiah.
Bayangkan para petani hutan yang setiap hari memungut daun jati kering untuk dijual. Ketika hutan dirusak tanpa kontrol, mereka kehilangan sumber penghidupan. Sebaliknya, jika akses ke hutan dibatasi secara ketat tanpa solusi alternatif, mereka juga akan kesulitan. Jadi, keadilan ekologi adalah soal mencari keseimbangan—antara menjaga alam dan memenuhi kebutuhan manusia.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH): Pahlawan atau Sekadar Nama?
Di Bojonegoro, LMDH hadir sebagai salah satu lembaga yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pengelola hutan. Namun, apakah lembaga ini benar-benar efektif? Jangan salah, LMDH sering kali menghadapi tantangan besar, mulai dari dana yang minim, keterbatasan kapasitas, hingga, ya, politik lokal yang suka bikin kepala pening.
Misalnya, ketika ada program reboisasi, sering kali masyarakat hanya dilibatkan secara simbolis—sekadar mencangkul dan menanam, tanpa diberi peran lebih dalam perencanaan. Padahal, siapa yang lebih paham tentang hutan kalau bukan mereka yang tinggal di sekitarnya? Alih-alih menjadi aktor utama, mereka hanya jadi figuran di panggung besar bernama proyek pemerintah.
Peluang Keadilan Ekologi di Bojonegoro