Di sebuah ruang kelas pondok pesantren di Jawa Tengah, seorang santri muda dengan semangat bertanya kepada kiainya, "Kiai, kapan saya bisa menjadi alim?" Sang kiai tersenyum bijak dan menjawab, "Ketika kau tahu cara duduk, bicara, dan menghormati gurumu dengan benar." Jawaban itu sederhana, tapi sarat makna: ilmu tanpa adab adalah kehampaan.
Dalam tradisi Islam, adab bukan sekadar tata krama, tetapi cara hidup yang meliputi penghormatan, kesopanan, dan etika. Imam Malik pernah menasihati murid-muridnya agar belajar adab sebelum mempelajari ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa adab adalah prasyarat untuk memahami ilmu secara mendalam dan memanfaatkannya dengan benar.
Adab melibatkan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Al-Quran menegaskan pentingnya adab dalam Surat Al-Hujurat (49:13), di mana Allah menyatakan bahwa manusia yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Takwa sendiri mencakup adab kepada Allah, seperti ikhlas, tawakal, dan syukur, yang menjadi dasar dari setiap upaya mencari ilmu.
Ketika Ilmu Tanpa Adab
Bayangkan seorang dokter yang pintar, tetapi berbicara kasar kepada pasiennya. Bukankah keahliannya menjadi tidak bernilai? Dalam konteks Islam, ilmu adalah amanah yang harus membawa manfaat. Namun, ilmu yang dikuasai tanpa adab justru dapat menjadi bumerang.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya, maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah." (HR Ahmad). Ini adalah peringatan keras bahwa ilmu tanpa adab akan menjerumuskan seseorang dalam kesombongan intelektual dan melupakan hakikat pencipta ilmu, yakni Allah SWT.
Kisah-Kisah Inspiratif: Adab di Atas Segalanya
Sejarah Islam penuh dengan kisah yang menunjukkan betapa pentingnya adab. Imam Syafi'i adalah contoh nyata. Ia begitu menghormati gurunya, Imam Malik, hingga ia tidak pernah membuka buku di hadapannya tanpa izin. Ia juga menjaga adab dalam berbicara, tidak pernah meninggikan suara, bahkan saat berbeda pendapat.
Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal, yang rela menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk mendengar satu hadis dari seorang ulama yang terkenal adil dan beradab. Perjalanan ini bukan semata-mata demi ilmu, tetapi demi memastikan bahwa ilmu yang ia dapatkan berasal dari tangan yang tepat.