Di sudut pasar yang selalu hiruk pikuk, ada gerobak sederhana dengan tulisan besar di atasnya: "Es Teh Pak Sun -- Segar, Manis, dan Berkah." Pemiliknya, seorang pria paruh baya bernama Pak Sun, adalah sosok yang akrab bagi semua orang di pasar. Setiap hari, dengan senyum lebar dan sapaan hangat, ia menjajakan es teh buatannya.
"Es teh, es teh! Segar, cuma tiga ribu, bisa buat nambah semangat!" serunya sambil menuangkan es teh dari termos besar ke dalam gelas plastik.
Pak Sun bukan hanya penjual es teh. Ia adalah sahabat pagi bagi tukang becak, ibu-ibu pedagang sayur, dan para buruh angkut di pasar. Tapi di balik senyumnya, ada cerita perjuangan yang tidak banyak orang tahu.
Tangan yang Menghidupi
Dulu, hidup Pak Sun tidak selalu seperti ini. Ia pernah bekerja di sebuah pabrik tekstil selama lebih dari 15 tahun. Namun, ketika pabrik itu bangkrut, ia harus mencari cara lain untuk menghidupi keluarganya.
"Saya cuma lulusan SD, Bu," katanya kepada istrinya suatu malam. "Kerja apa saja yang penting halal, saya siap."
Setelah beberapa minggu kebingungan, muncul ide sederhana: menjual es teh. Awalnya, banyak yang meremehkan. "Ah, jualan es teh? Bisa apa dari situ?" ejek seorang tetangga. Tapi Pak Sun tidak peduli. Baginya, yang penting adalah bekerja dengan tangan sendiri dan tetap memberikan nafkah untuk keluarganya.
Pelajaran dari Gerobak Es Teh
Setiap pagi, Pak Sun bangun lebih awal dari matahari. Ia memulai harinya dengan memasak air, menyeduh teh, dan mencampurnya dengan gula. Ia selalu memastikan rasanya pas---tidak terlalu manis, tidak terlalu tawar. "Rasa es teh ini seperti hidup," katanya kepada anak-anaknya. "Harus seimbang."
Dari hasil berjualan es teh, Pak Sun mampu menyekolahkan kedua anaknya. Meski sederhana, ia selalu menekankan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras.