Kalau membahas sepakbola Indonesia, seringkali kita terjebak pada statistik: kekalahan, kemenangan, atau prestasi yang serba naik-turun. Namun, pernahkah kita mencoba melihatnya dari sudut pandang filosofis? Di sini, nama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden ke-4 Republik Indonesia, menjadi relevan. Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin politik dan tokoh agama, tetapi juga penggemar berat sepakbola. Pandangannya tentang sepakbola bukan sekadar olahraga, melainkan cerminan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan berbangsa.
Sepakbola sebagai Miniatur Kehidupan
Gus Dur pernah mengatakan, “Sepakbola adalah hiburan rakyat yang mencerminkan kehidupan kita sehari-hari.” Kalimat sederhana ini menyiratkan filosofi yang dalam. Sepakbola adalah mikrokosmos dari masyarakat Indonesia: keberagaman pemain, kerja sama tim, hingga dinamika strategi di lapangan. Setiap pemain punya peran, seperti setiap individu dalam masyarakat. Ada striker yang harus mencetak gol, gelandang yang menjadi pengatur serangan, hingga bek yang menjaga stabilitas. Semua punya tanggung jawab, dan keberhasilan tim tergantung pada harmoni kerja sama.
Gus Dur mengajarkan kita bahwa sepakbola seharusnya menjadi ruang inklusi, bukan eksklusi. Hal ini selaras dengan prinsip ke-3 Pancasila: Persatuan Indonesia. Lapangan hijau menjadi tempat di mana perbedaan suku, agama, dan ras melebur menjadi satu tujuan: memenangkan pertandingan dengan menjunjung sportivitas.
Kritik terhadap Sistem dan Manajemen
Namun, Gus Dur tidak menutup mata terhadap masalah struktural dalam sepakbola Indonesia. Dalam salah satu wawancara, ia mengkritik pengelolaan sepakbola yang sering kali korup dan penuh intrik. Ia melihat sepakbola Indonesia bukan gagal karena kurangnya bakat pemain, melainkan karena pengelolaan yang tidak transparan dan sering kali mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama.
Ini sejalan dengan kritiknya terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa. Gus Dur percaya bahwa sistem yang baik harus mengutamakan keadilan dan kesetaraan, bukan kekuasaan atau keuntungan semata. Filosofi ini relevan dalam konteks sepakbola, di mana pengelolaan klub dan liga sering kali terjebak dalam politik uang.
Bayangkan, dengan potensi talenta pemain muda yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa berbicara banyak di kancah internasional. Namun, sayangnya, bakat-bakat ini sering kali layu sebelum berkembang akibat buruknya manajemen dan minimnya infrastruktur.
Sepakbola sebagai Alat Pendidikan
Bagi Gus Dur, sepakbola adalah sarana pembelajaran nilai-nilai luhur. Ia menekankan pentingnya sportivitas, kerja keras, dan penghormatan terhadap lawan. Nilai-nilai ini, jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dapat membentuk karakter bangsa yang lebih kuat.