Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lapor Mas Wapres, Membaca Budaya Kritik dari Perspektif Sisiologi dan Psikologi

27 November 2024   12:20 Diperbarui: 27 November 2024   12:31 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lapor Mas Wapres (Sumber: ww.inilah.com)

Di suatu negeri yang gemar bercanda tapi serius dalam urusan dapur, muncul sebuah inovasi unik bernama "Lapor Mas Wapres". Platform ini memungkinkan warga menyampaikan keluhan langsung kepada Wakil Presiden. Bukan melalui surat resmi berlembar-lembar, melainkan cukup dengan klik dan ketik. 

Tapi, apakah ini hanya aplikasi digital biasa? Atau cerminan dari dinamika sosial dan psikologis kita sebagai bangsa? Mari kita telaah lebih dalam dengan sudut pandang sosiologi dan psikologi.

Budaya Kritik dan Hierarki Sosial

Dari sisi sosiologi, "Lapor Mas Wapres" mencerminkan fenomena menarik: adanya ruang baru untuk menantang hierarki. Dalam budaya kita, kritik kepada pejabat sering dianggap tabu. Ada tradisi menghormati pemimpin yang bercampur aduk dengan rasa segan. 

Hasilnya? Kritik cenderung disampaikan dengan cara "muter-muter" alias tak langsung, seperti kode-kode di acara kondangan.

Namun, dengan platform seperti ini, masyarakat didorong untuk berbicara lugas. Laporan yang masuk bisa beragam: dari jalan rusak, pelayanan publik buruk, hingga isu harga sembako. Semua ini menunjukkan bahwa warga punya kebutuhan untuk didengar. 

Dalam teori sosiologi konflik ala C. Wright Mills, ini adalah bukti dari adanya "sociological imagination" --- masyarakat mulai mengaitkan masalah pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Jalan berlubang bukan cuma soal kenyamanan, tapi soal tanggung jawab pemerintah.

Yang menarik, ada juga unsur ritual publik. Lapor Mas Wapres tak sekadar tempat curhat, tapi wadah untuk "ritual sosial" di mana warga bisa menyalurkan frustrasi tanpa takut dituduh makar. Ini adalah langkah maju, walau kecil, dalam membangun demokrasi partisipatif.

Psikologi di Balik Mengeluh

Dari perspektif psikologi, manusia memang suka mengeluh. Tapi, jangan salah sangka, ini bukan sekadar hobi. Mengeluh adalah cara untuk mencari solusi atau sekadar pelepasan emosi. Menurut penelitian, curhat bisa mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental. Dalam konteks "Lapor Mas Wapres", ada efek katarsis --- warga merasa lega setelah menyampaikan unek-unek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun