Pilkada serentak 2024 sudah di depan mata. Suasana kampung mulai meriah dengan spanduk warna-warni, baliho besar dengan senyum selebar jalan raya, dan suara klakson mobil kampanye yang kadang bikin kaget ayam-ayam di kandang. Ya, inilah Indonesia, tempat pemilu bukan sekadar memilih pemimpin, tapi juga ajang "pesta rakyat" yang semarak. Tapi, bagaimana kalau kita beneran menjadikannya pesta yang menggembirakan, bukan malah bikin sakit kepala?
Demokrasi Itu Pesta, Bukan Perang
Banyak dari kita masih memandang pilkada seperti perang. Pendukung kandidat A saling sindir dengan pendukung kandidat B, seolah-olah beda pilihan itu dosa besar. Padahal, demokrasi itu lebih seperti perayaan keluarga besar—rame, seru, tapi tetap hangat. Coba bayangkan pesta ulang tahun: semua tamu datang dengan baju terbaik, makan bersama, dan ngobrol seru. Kalau ada yang tiba-tiba melempar kue ke wajah orang lain, pestanya jadi kacau, kan?
Begitu juga dengan pilkada. Beda pilihan itu wajar, namanya juga hidup. Tidak mungkin semua orang sepakat soal satu hal. Bahkan di rumah saja, kita bisa ribut cuma karena pilihan lauk: ayam goreng atau tahu tempe?
Pemilih: Pahlawan di Balik Layar
Mari kita jujur, siapa aktor utama di pesta demokrasi ini? Kandidat? Bukan. Pengamat politik? Juga bukan. Jawabannya adalah kita, para pemilih. Di tangan kita-lah pesta ini berjalan sesuai harapan atau malah jadi drama. Pemilih punya kekuatan luar biasa untuk menentukan masa depan daerah, tapi sering kali kekuatan itu diabaikan hanya karena amplop tipis atau janji kosong.
Coba bayangkan begini: kalau pemilu adalah ajang masak-memasak, kita sebagai pemilih adalah juri. Tugas kita bukan cuma mencicipi makanan, tapi memastikan chef-nya tahu resep yang benar dan nggak asal goreng. Pilihan kita menentukan apakah “menu” kepemimpinan lima tahun ke depan bikin kenyang atau malah bikin sakit perut.
Kandidat: Tuan Rumah yang Baik
Di pesta demokrasi, kandidat adalah tuan rumahnya. Tuan rumah yang baik tentu ingin tamunya senang, bukan malah bingung atau kecewa. Jadi, para kandidat seharusnya tidak hanya fokus memamerkan senyum di baliho, tetapi juga menyajikan “menu” program kerja yang relevan dan realistis.
Namun, sering kali yang terjadi justru sebaliknya. Ada kandidat yang terlalu sibuk menyerang lawan atau berjanji muluk-muluk sampai kita bertanya, “Ini beneran atau cuma mimpi?” Misalnya, janji membangun jembatan di daerah yang bahkan nggak punya sungai. Harapannya, kandidat tahun ini lebih fokus pada kebutuhan nyata masyarakat dan berbicara dengan data, bukan sekadar retorika.