Menyebut nama Gus Dur---alias Abdurrahman Wahid---adalah membangkitkan sosok yang hidup di persimpangan antara humor, kebijaksanaan, dan keberanian. Ia bukan sekadar tokoh politik, ulama, atau pejuang pluralisme. Ia juga seorang penulis yang produktif, seorang pembaca rakus, dan seorang pendebat yang tak kenal takut. Menulis dan membaca adalah dua napas yang membuat Gus Dur tetap hidup dalam ingatan kita, bahkan setelah ia pergi.
Menulis, Humor, dan Kritik Sosial
Bayangkan ini: seorang ulama dengan sarung dan kiai berpenampilan sederhana, tetapi tulisannya bisa mengguncang pemerintah otoriter, memicu perdebatan, bahkan membuat banyak pihak gelisah. Itulah Gus Dur. Dalam kolom-kolomnya di berbagai media seperti Tempo atau Kompas, ia tidak hanya menyampaikan pemikiran, tetapi juga menampar halus pihak-pihak yang dirasanya perlu disadarkan.
Gaya menulisnya sangat khas: ringan, penuh humor, tapi menggigit. Dalam sebuah esai, ia pernah menulis tentang seorang tokoh politik yang "begitu cerdas hingga lupa bahwa ia sedang salah." Siapa pun yang membacanya akan tersenyum, tapi tak bisa menyangkal kebenaran di balik sindiran itu. Gus Dur tahu bahwa humor adalah senjata ampuh untuk membongkar kekakuan dan keangkuhan.
Menulis bagi Gus Dur adalah cara untuk melawan tanpa mencederai, berbicara tanpa harus berteriak. Ketika banyak orang memilih diam di bawah tekanan Orde Baru, Gus Dur menulis dengan tenang tetapi tajam. Tulisan-tulisannya menjadi oase bagi mereka yang haus akan kebebasan berpikir.
Buku: Sahabat dan Guru Gus Dur
Gus Dur adalah pembaca sejati, tipe orang yang selalu membawa buku ke mana pun ia pergi. Membaca baginya bukan sekadar kegiatan, tetapi kebutuhan. Ia tidak membatasi dirinya pada genre atau ideologi tertentu. Sebagai seorang kiai, ia membaca Al-Qur'an dan kitab kuning dengan penuh kesungguhan. Tetapi sebagai seorang intelektual, ia juga membaca karya-karya Nietzsche, Marx, hingga Shakespeare.
Buku-buku itu membentuk cara berpikir Gus Dur yang melampaui batas. Dari kitab klasik Islam, ia belajar kebijaksanaan. Dari novel-novel Pramoedya, ia menangkap perjuangan akan keadilan sosial. Bahkan, dari karya-karya barat seperti Kafka, ia menemukan absurditas kehidupan yang kadang justru menjadi pelajaran paling penting.
Bagi Gus Dur, buku adalah teman diskusi yang tak pernah menghakimi, guru yang tak pernah lelah memberi wawasan, dan inspirasi untuk menulis. Jika menulis adalah caranya berbicara kepada dunia, maka membaca adalah caranya mendengar dunia berbicara kepadanya.
Warisan Gus Dur dalam Tulisan