Di kampung kecil saya yang jauh dari gemerlap kota, ada sebuah madrasah sederhana. Bangunannya berdinding papan yang sebagian besar sudah mulai miring. Tiap kali hujan deras, genting bocor di sana-sini, dan kami para murid sibuk memindahkan buku ke pojok yang aman. Tapi anehnya, meskipun begitu sederhana, madrasah itu tidak pernah sepi. Di sinilah sosok Guru Ahmad, guru madrasah kami yang penuh cerita, memegang peran utama.
Guru Ahmad bukan sekadar guru. Beliau adalah penyemangat, motivator, sekaligus penghibur bagi kami. Dari pagi hingga siang, beliau mengajar Alquran, fikih, hingga sejarah Islam. Sorenya, beliau masih menyempatkan diri menjadi pelatih rebana, bahkan kadang tukang tambal ban kalau ada yang perlu. Bapak serbabisa, itulah julukan diam-diam kami kepadanya.
Namun, yang paling kami sukai adalah caranya mengajar. Guru Ahmad punya kemampuan magis dalam mengubah pelajaran yang biasanya bikin mata ngantuk jadi bahan obrolan seru. Contohnya saat mengajarkan hukum tajwid. "Kalau nun mati bertemu ba," katanya sambil menaikkan alis, "apa yang terjadi? Nun-nya ngumpet, biar nggak ketahuan. Sama kayak kalian, kan, kalau diminta bantuin ibu cuci piring?" Kelas pun meledak dalam tawa.
Tapi jangan kira Guru Ahmad hanya bisa bercanda. Kalau sudah bicara soal akhlak, nada suaranya berubah. Serius, tegas, tapi tetap dengan sentuhan humor. "Anak-anak, akhlak itu ibarat aroma parfum. Wangi atau tidaknya, orang lain pasti mencium. Jadi, jangan sampai kalian jadi parfum palsu!" Semua terdiam, mencerna kalimat itu.
Yang paling saya ingat adalah kisah beliau saat menjelaskan pentingnya jujur. Waktu itu ada murid yang ketahuan mencontek. Bukan hukuman keras yang beliau berikan, tapi sebuah cerita. "Dulu, ada pedagang korma di pasar Madinah," katanya sambil menatap kami satu per satu. "Dia menumpuk korma busuk di bawah yang segar. Ketika Rasulullah lewat, beliau menegur. 'Kenapa engkau tidak menaruh yang busuk di atas agar orang bisa melihat?' Si pedagang malu sekali. Rasulullah lalu berkata, 'Siapa yang menipu, bukan golongan kami.' Jadi, jujur itu bukan cuma soal kalian di kelas, tapi juga di hidup kalian nanti."
Cerita itu menancap di kepala saya hingga kini.
Guru Ahmad juga sangat dekat dengan para orang tua. Tiap Sabtu sore, beliau keliling kampung, dari rumah ke rumah. Kadang mengingatkan soal PR, kadang cuma ngobrol ringan soal panen atau ayam yang hilang. Tapi jangan salah, cara ini membuat beliau tahu semua dinamika keluarga murid. Kalau ada yang tiba-tiba lesu belajar, beliau pasti tahu penyebabnya.
"Pak Ahmad itu kayak Google berjalan," kata Pak Lurah sambil tertawa suatu hari. "Apa aja tahu, tapi lebih ramah."
Tentu saja, menjadi guru di madrasah kampung tidak membuat beliau kaya. Malah, kadang kami tahu, gaji beliau sering terlambat. Tapi Guru Ahmad tidak pernah mengeluh. Pernah suatu kali kami mengeluhkan tentang fasilitas madrasah yang jauh dari layak. Beliau hanya tersenyum.
"Kalian tahu, siapa yang paling beruntung di dunia ini?" tanyanya. Kami saling pandang, bingung. "Orang yang terus belajar, meskipun keadaannya tidak sempurna. Karena orang seperti itu yang nantinya paling kuat menghadapi hidup."