Ketahanan pangan sering jadi topik hangat di meja-meja diskusi, baik di gedung pemerintah, kampus, hingga warung kopi. Namun, pembicaraan ini seringkali terasa abstrak, jauh dari akar rumput. Padahal, jika bicara ketahanan pangan, kita harus bicara tentang para petani—terutama generasi muda yang, perlahan tapi pasti, makin jarang terlihat di sawah.
Di suatu desa, ada Pak Ahmad, petani sepuh yang sudah bertahun-tahun mengolah tanah. Kini, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, tapi siapa lagi yang akan meneruskan ladang? Anak-anak Pak Ahmad memilih bekerja di kota—lebih menjanjikan, katanya. Fenomena ini bukan cerita fiksi. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah petani muda (usia di bawah 35 tahun) hanya sekitar 29% dari total petani di Indonesia. Generasi muda lebih tertarik bekerja di pabrik, kantor, atau bahkan menjadi content creator.
Kenapa Petani Muda Enggan Bertani?
Ada banyak alasan. Pertama, bertani dianggap tidak “keren.” Dalam bayangan banyak orang, petani adalah pekerjaan yang melelahkan, kotor, dan penghasilannya pas-pasan. Kedua, akses terhadap lahan pertanian makin sulit. Harga tanah melonjak, sementara program reforma agraria sering berjalan lambat. Ketiga, minimnya dukungan teknologi dan edukasi membuat bertani terasa “jadul.” Alih-alih traktor canggih atau drone penyemprot pupuk, petani muda lebih sering menghadapi cangkul tua dan sawah yang bergantung pada hujan.
Lalu ada persoalan hasil. Harga jual produk pertanian sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi. Ketika panen raya, harga gabah justru anjlok. Ini membuat banyak petani muda berpikir dua kali: kenapa harus bertani kalau hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari?
Ketahanan Pangan dalam Bahaya
Ketahanan pangan tidak sekadar soal cukup atau tidaknya stok beras di gudang Bulog. Ini soal kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Bayangkan jika jumlah petani terus menurun, siapa yang akan menanam padi, sayur, dan buah? Apakah kita akan terus mengandalkan impor? Jika iya, apa jadinya jika negara pengekspor mengalami krisis pangan juga?
Krisis pangan global, seperti yang pernah terjadi selama pandemi COVID-19, memberi kita pelajaran berharga: kemandirian pangan adalah kunci. Namun, tanpa regenerasi petani, kemandirian itu hanya mimpi.
Menciptakan Petani Muda yang Berdaya
Lalu, apa solusinya? Pertama, kita butuh perubahan paradigma. Bertani harus dianggap pekerjaan yang keren dan menjanjikan. Negara bisa belajar dari Jepang atau Belanda, di mana bertani dipadukan dengan teknologi modern. Anak muda di sana tidak malu menjadi petani karena pekerjaan itu bernilai ekonomi tinggi dan punya gengsi.