Sebuah desa yang indah, asri, kesejahteraan dan kebahagiaan terlihat dari pancaran wajah masyarakatnya dan penuh kedamaian, ketenangan serta kenyamanan—itulah yang disebut gambaran qaryah thayyibah, desa yang baik. Sebuah konsep yang bukan hanya sebatas impian, tapi seharusnya bisa kita wujudkan. Tapi tunggu dulu, bagaimana caranya? Salah satu jawabannya ternyata sederhana: kelola sampah!
Kedengarannya memang simpel, tapi jujur saja, urusan sampah di negeri ini sering kali lebih ruwet daripada hubungan percintaan anak muda zaman sekarang. Sampah, yang seharusnya menjadi bagian dari siklus kehidupan alam, malah jadi masalah besar yang menghantui. Nah, di sinilah pentingnya pengelolaan sampah yang baik untuk mencapai qaryah thayyibah.
Sampah dan Desa yang Baik
Sampah, dalam banyak hal, mencerminkan perilaku kita. Desa yang penuh dengan sampah berserakan jelas bukan desa yang diidamkan. Sebaliknya, desa yang bersih, sehat, dan dikelola dengan baik menunjukkan kepedulian warganya terhadap lingkungan. Qaryah thayyibah, yang dalam tradisi Islam berarti tempat tinggal yang penuh berkah, tentunya tak terpisahkan dari kebersihan dan ketertiban.
Ketika sampah tidak dikelola dengan baik, berbagai masalah akan muncul, mulai dari pencemaran lingkungan hingga kesehatan. Lihat saja data dari Kementerian Lingkungan Hidup, Indonesia memproduksi sekitar 67 juta ton sampah per tahun! Itu sama saja dengan menumpuk gunung sampah setinggi Monas setiap hari.
Tapi bukan hanya soal estetika atau kesehatan fisik. Mengelola sampah dengan bijak juga mendidik kita untuk lebih bertanggung jawab dan peduli pada lingkungan, sesuatu yang pada akhirnya membawa kita lebih dekat pada konsep qaryah thayyibah. Desa yang sehat bukan hanya soal fisik, tapi juga mental warganya.
Dari Problem ke Potensi
Pengelolaan sampah di desa-desa masih sering terabaikan. Padahal, sampah bukan cuma masalah, tapi juga peluang. Ini seperti melihat segelas kopi—apakah hanya bubuk hitam yang pahit atau kesempatan untuk menikmati aroma yang kaya dan menyegarkan? Sampah bisa diibaratkan sebagai “biji kopi,” tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.
Salah satu cara untuk mengubah sampah dari beban menjadi berkah adalah melalui sistem 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Mengurangi penggunaan barang sekali pakai, memanfaatkan kembali barang-barang yang masih layak, dan mendaur ulang sampah menjadi produk baru, semuanya merupakan langkah sederhana tapi berdampak besar.
Contoh nyatanya adalah desa-desa di berbagai daerah yang telah sukses mengelola sampah organik menjadi pupuk kompos. Bukankah ini sangat membantu para petani yang kini tak perlu lagi membeli pupuk mahal? Dari sini, qaryah thayyibah tak hanya soal kebersihan, tapi juga kesejahteraan ekonomi.
Tak hanya itu, beberapa desa bahkan telah memulai bank sampah, di mana warga bisa menukar sampah yang dikumpulkan dengan uang. Wah, siapa sangka tumpukan plastik bekas minuman bisa berubah menjadi pundi-pundi rezeki?
Peran Penting Edukasi
Namun, semua upaya pengelolaan sampah ini tak akan berjalan tanpa edukasi yang baik. Edukasi di sini bukan sekadar memberi tahu orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Lebih dari itu, ini soal membentuk pola pikir baru tentang bagaimana kita memandang sampah.
Penting bagi masyarakat desa untuk memahami bahwa sampah yang mereka hasilkan adalah tanggung jawab mereka. Banyak dari kita masih berpikir bahwa sekali sampah keluar dari rumah, itu bukan urusan kita lagi. Padahal, dalam ekosistem desa yang baik, semua orang berperan dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Mungkin ada yang berpikir, “Ah, ini kan tugas pemerintah desa atau petugas kebersihan!” Tapi sebenarnya, kalau setiap warga desa mau mengambil peran aktif, dampaknya akan jauh lebih besar. Pemerintah desa bisa mendukung dengan menyediakan infrastruktur yang memadai, seperti tempat sampah terpilah dan fasilitas daur ulang. Tapi tanpa kesadaran dan partisipasi masyarakat, semuanya hanya akan menjadi teori belaka.
Bicara soal sampah juga bisa jadi lucu, kalau kita pikirkan betapa kita kadang abai. Pernah suatu kali, ada cerita lucu tentang orang yang rajin buang sampah ke sungai setiap hari, berharap air mengalirkannya jauh. Tapi yang terjadi, sampah itu balik lagi di depan rumahnya setelah banjir datang. Hayo, siapa yang pernah ngalamin? Ternyata hukum karma bisa berlaku untuk sampah juga!
Menuju Qaryah Thayyibah
Mewujudkan qaryah thayyibah memang bukan pekerjaan semalam, apalagi jika berbicara soal mengubah kebiasaan dan cara pandang tentang sampah. Namun, dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, kita bisa menuju ke arah itu. Desa yang bersih, tertata, dan warganya peduli pada lingkungan adalah impian yang bisa menjadi kenyataan.
Mari mulai dengan langkah sederhana: pisahkan sampah di rumah, manfaatkan yang bisa didaur ulang, dan komposkan yang organik. Ingat, qaryah thayyibah bukan sekadar desa fisik yang baik, tapi juga tempat di mana warganya hidup selaras dengan alam, penuh kebersamaan, dan selalu menjaga kebersihan, baik jasmani maupun rohani.
Dengan demikian, qaryah thayyibah bukan hanya mimpi yang ada di buku-buku agama atau kata-kata indah dalam khutbah, tapi sebuah desa nyata yang bisa kita ciptakan bersama—dimulai dari mengelola sampah. Yuk, mulai dari sekarang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H