Pilkada itu ibarat pesta. Seharusnya ramai, penuh keceriaan, dan saling sapa. Tapi entah kenapa, di setiap pesta politik, pasti ada yang lebih suka membawa keributan ketimbang kebahagiaan. Salah satunya: perdebatan. Apalagi kalau sudah menyentuh urat sensitif agama, psikologi, dan sosial. Jadi, apakah debat di Pilkada itu wajib atau sebenarnya bisa dijauhi?
Ketika Menjaga Lisan Adalah Ibadah
Dalam pandangan agama, perdebatan itu mirip seperti api unggun yang dikipasi. Kalau nggak tahu cara memadamkannya, bisa-bisa terbakar habis. Nabi Muhammad SAW sendiri sudah memberi peringatan untuk menghindari perdebatan yang sia-sia, apalagi kalau tujuannya hanya mencari menang, bukan kebenaran. Alhasil, di tengah Pilkada Bojonegoro, perdebatan bisa saja menciptakan api-api kecil yang malah memecah belah, bukannya mendekatkan hati.
Lantas, bagaimana caranya menghindari? Ada baiknya kita belajar dari kisah klasik Islam tentang para ulama yang lebih memilih diam daripada mengomentari hal yang memecah belah. Bayangkan, kalau di Pilkada kita lebih memilih berdialog santai tanpa saling memotong argumen, bukankah suasana lebih adem?
Kesehatan Mental vs Debat Beracun
Dari sudut pandang psikologi, perdebatan itu bisa memengaruhi kesehatan mental kita. Setiap kali terjebak dalam debat sengit, otak kita melepaskan hormon stres, seperti kortisol. Nah, kebayang nggak kalau di grup WhatsApp keluarga atau media sosial, yang seharusnya tempat bercanda malah jadi ajang debat politik? Rasanya bukan cuma bikin kepala pening, tapi bisa bikin keluarga pecah kongsi.
Psikolog menyarankan untuk menghindari perdebatan yang tidak produktif. Kita bisa fokus pada diskusi yang sehat, di mana setiap pihak saling mendengar, bukan hanya berbicara. Pilkada Bojonegoro 2024 bisa menjadi kesempatan untuk melatih diri menjaga kesehatan mental: bukan dengan debat, tapi dengan mendengarkan lebih banyak.
Persatuan di Atas Segalanya
Dari sisi sosial, kita tahu Bojonegoro itu kota yang masyarakatnya dikenal guyub dan rukun. Jangan sampai, Pilkada yang hanya berlangsung sesaat membuat kita lupa akan semangat kebersamaan ini. Di media sosial, perdebatan tentang politik sering kali diwarnai dengan saling tuding, bahkan fitnah. Akibatnya, yang tadinya hanya beda pilihan politik bisa merembet jadi permusuhan personal.
Masyarakat yang cerdas tentu tahu bahwa Pilkada adalah bagian dari demokrasi, dan dalam demokrasi, perbedaan itu wajar. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita merawat hubungan sosial, tanpa harus membiarkan perdebatan merusak segalanya.