Kalau ngomongin soal "Santri" dan "Pahlawan", bayangan kita mungkin akan meloncat-loncat dari sosok bersarung yang khusyuk mengaji di pesantren, hingga ke pahlawan nasional yang berani mati demi tanah air. Tapi, siapa sangka, dua hal ini sebenarnya punya hubungan yang kental, kayak teh manis sama gorengan di pagi hari. Terlebih, ada dua hari besar yang seakan "berjabat tangan" di kalender kita: Hari Santri (22 Oktober) dan Hari Pahlawan (10 November). Apa hubungan mereka? Mari kita ulik lebih dalam, dengan cara yang renyah dan ringan tentunya!
Zaman Dulu: Santri Naik Level Jadi Pahlawan
Kita mulai dari masa perjuangan. Dulu, jadi santri tuh nggak sekadar hafal Al-Qur'an dan rajin ngaji, tapi juga siap angkat senjata kalau negara dalam bahaya. Santri zaman kolonial itu macam superhero berpenampilan sederhana. Mereka belajar agama di pagi hari, sorenya belajar strategi perang, malamnya mungkin diskusi strategi jihad lawan penjajah. Multitasking banget!
Contoh konkret? Resolusi Jihad! Pada tanggal 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa yang menyerukan jihad melawan penjajah. Bukan sembarang seruan, ini adalah deklarasi serius yang menggugah santri-santri dari seluruh penjuru negeri untuk bergerak ke medan pertempuran, yang puncaknya terjadi di Surabaya, hingga meletuslah peristiwa 10 November---yang kini kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Jadi, bisa dibilang, tanpa peran santri, peristiwa 10 November mungkin akan sangat berbeda ceritanya. Santri bukan cuma berjuang lewat doa, tapi juga turun langsung ke medan laga. Mereka ini pahlawan spiritual sekaligus pahlawan fisik. Dan yang menarik, santri-santri ini nggak mengharapkan gelar atau pamrih---mereka cuma ingin merdeka dan hidup tenang. Yah, kalau sekarang mungkin yang penting punya koneksi internet yang stabil juga.
Zaman Sekarang: Dari Pedang ke Posting
Lompat ke zaman sekarang, santri udah jarang kita lihat bawa senjata atau bambu runcing. Lagipula, jaman udah modern, masa perang pakai bambu runcing lagi? Namun, peran mereka sebagai pahlawan masih sangat relevan, hanya saja medianya berubah. Santri masa kini lebih sering 'bertempur' di ruang digital daripada di medan perang. Misalnya, jadi penyebar konten positif di media sosial, melawan hoaks, dan mendidik masyarakat tentang agama dan kebangsaan. Mereka mungkin nggak lagi berhadapan dengan peluru, tapi lebih sering menghadapi komentar nyinyir atau hoaks yang viral.
Hari Santri, yang sekarang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, bukan hanya peringatan sejarah, tapi juga pengingat bahwa nilai-nilai kepahlawanan santri tetap hidup di era modern. Mereka berperan dalam membangun moral bangsa, menjaga kerukunan, bahkan ada yang jadi pahlawan lingkungan lewat gerakan eco-pesantren. Jadi, kalau pahlawan dulu berjibaku dengan penjajah, santri sekarang berjibaku dengan masalah sosial yang tak kalah penting.
Banyak juga santri yang aktif di dunia pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. Mereka mungkin nggak berjuang di medan perang yang berdarah-darah, tapi kontribusi mereka membangun negeri sangat terasa. Jadi, kalau dulu santri berjuang dengan fisik, sekarang mereka berjuang lewat pikiran dan hati---terkadang, berjuang melawan kantuk sambil bikin konten inspiratif di YouTube atau mengerjakan proposal beasiswa.
Santri dan Pahlawan: Nilai yang Abadi