Ada yang spesial di bulan ini. Bukan, bukan soal diskon 11.11 yang bikin dompet teriak, tapi soal ulang tahun ISNU---Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi intelektual Nahdliyyin, ISNU adalah bukti nyata bahwa santri tidak hanya ahli kitab kuning, tetapi juga mahir merangkai pemikiran kritis yang membangun peradaban.
Bayangkan, dulu para santri dianggap hanya bisa mengaji, jarang ada yang percaya bahwa mereka bisa menjadi profesor, dokter, bahkan pemimpin nasional. Tapi ISNU hadir untuk membuktikan, "Hei, kita ini juga bisa masuk Harvard, kok!"
Mengenang Lahirnya ISNU
Didirikan pada 19 November 1999, ISNU lahir dari gagasan besar: menciptakan wadah bagi kaum intelektual Nahdliyyin untuk bersinergi. Kalau NU itu ibarat pohon besar, maka ISNU adalah cabang yang kokoh, memberikan buah berupa gagasan, solusi, dan inovasi untuk masyarakat. Tidak ada lagi stereotip "sarjana NU cuma bisa ceramah." Sekarang, sarjana NU itu bisa jadi inovator teknologi, pengusaha sukses, atau bahkan diplomat ulung.
Namun, perjalanan ISNU tentu tidak semudah membalikkan sarung. Ada tantangan besar, mulai dari membangun kesadaran anggota hingga memastikan kontribusi nyata bagi bangsa. Tapi, bukankah tantangan itu bumbu dalam perjuangan? Kalau hidup tanpa tantangan, rasanya hambar seperti sayur tanpa garam.
Antara Idealisme dan Realisme
Dalam dunia yang semakin kompleks, ISNU punya tugas berat: menjaga nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan di tengah arus globalisasi. Peran ini sering kali seperti berjalan di atas tali, harus seimbang antara idealisme dan realisme. Misalnya, bagaimana menyuarakan ekonomi syariah di tengah kapitalisme global? Atau bagaimana mengadvokasi kebijakan publik tanpa terjebak dalam pragmatisme politik?
Di sinilah ISNU memainkan peran penting. Dengan jaringan intelektualnya, ISNU mampu memberikan analisis yang tajam dan solutif. Misalnya, isu pendidikan yang sering menjadi perhatian ISNU. Alih-alih hanya mengkritik kurikulum yang gonta-ganti menteri, ISNU memilih mengedepankan pendekatan berbasis riset.
Namun, di balik peran strategisnya, ISNU tidak lepas dari tantangan internal. Salah satunya, bagaimana membuat kegiatan ISNU tetap menarik di tengah gempuran media sosial. Kalau tidak hati-hati, diskusi intelektual ISNU bisa kalah pamor dengan tren TikTok terbaru.
Harlah Sebagai Momentum Refleksi
Perayaan harlah ISNU bukan sekadar seremoni. Ini adalah momen refleksi, melihat sejauh mana ISNU telah berjalan dan apa yang masih perlu diperbaiki. Ibarat santri yang sedang murajaah, ISNU juga perlu mengulang-ulang nilai-nilai dasarnya agar tidak kehilangan arah.