Mohon tunggu...
muh choirudin
muh choirudin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penyuka kereta, sedang belajar membaca, mewujudkan mimpi jadi petani, tertarik pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kemandirian Petani Lewat Pertanian Berkelanjutan

22 Desember 2014   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pertanian berkelanjutan pada prinsipnya pengelolaan lahan dilakukan secara organik. Itu tugas kita  yang bergelut bidang pertanian menggunakan lahan sebijak mungkin” terang Ririn sebagai pengurus kelompok tani Maju Jaya Desa Rowosari, Sumberjambe, Jember.  Rowoasari merupakan desa terpencil didaerah lereng gunung Raung sekitar 35 km dari kampus Universitas Jember. Desa Rowosari Sumberjambe, terkenal dengan produk beras merah organik yang dihasilkan. Pemasaran produk mereka merambah kota-kota besar seperti Surabaya dan Bali.

Pada minggu (30/11) mahasiswa Fakultas Pertanian berksempatan mengunjungi desa Sumberjambe. Dalam kunjungan lapang tersebut bertujuan untuk mengetahui langsung praktik pertanian berkelajutan (sustainable agiculture). Mahasiswa disambut jajaran pengurus kelompok tani organik secara hangat. Dengan disuguhi olahan pangan lokal berupa singkong goreng. Kegiatan yang dilakukan berupa pemaparan materi dilanjutkan peninjauan tanaman padi dipersawahan. Meskipun kondisi hujan tidak menyurutkan antusias mahasiswa dalam mengikuti kegiatan.“Dengan kegiatan ini saya rasa mampu memotivasi mahasiswa. Mahasiswa tidak hanya mengenal pertanian berkelanjutan lewat literatur, namun dapat mempelajarinya dilapang” ujar Febri.

Pemilihan lokasi pertanian organik di Sumberjambe melalui pertimbangan beberapa hal. Kondisi topografi serta sumber air yang belum tercemar dirasa cocok untuk praktik pertanian berkelanjutan. “ Kondisi disini 40% masih berupa hutan sehingga ekosistem masih terjaga alami” tambah Ririn. Menurut pengakuanya sumber bahan organik didaerah tersebut melimpah. Rata-rata petani memiliki ternak sendiri untuk memenuhi bahan organik.

“Petanian organik di Rowosari bermula pengenalan sistem tanam SRI pada 2008 silam” terang Rudiyanto sebagai ketua gapoktan. Pada awal pengenalan sistem bertani organik respon masyarakat sekitar masih rendah.  Kecenderungan hasil sistem organik rendah menjadi penyebab utama. Namun ketika melihat harga jual yang tinggi lambat laun para petani mulai tertarik.  “Pada 2010 kita memiliki keinginan untuk mendapat sertifkat organik sebagai syarat untuk menjual produk berlabel organik” lanjut Rudi.

Rudi mengaku keberhasilan kelompok tani Maju Jaya tidak diperoleh secara instan. Saat sertifikasi tahun 2010 gagal memperoleh sertifikat organik. Dikarenakan masih banyak anggota yang tidak mematuhi aturan. Kepungurusan yang kurang koordinasi serta pengawaasan internal pada anggota masih lemah. “Dahulu kita bernaung JSM organik yang beranggotakan tiga kelompok tani namun akhirnya gagal”.

Perbaikan dimulai 2011 dengan pendataan ulang anggota. Akhirnya pada 2012 memperoleh sertifikat organik dari LESOS Mojokerto. Hingga sekarang total lahan yang bersertifikat organik seluas 27 ha. “Kita waktu itu melakukan pendataan ulang dan kontrak ulang serta membuat SOP penanaman, penggilingan, pengemasan sebagai perbaikan” lanjut Rudi.

Rudi mengaku pertama kali panen 3 ton/ha pada tahun kedua 4 ton/ha dan sekarang 6 ton/ha. Penurunan hasil panen yang sangat banyak tersebut menjadikan petani pemula enggan meneruskan pertanian organik. Rudi mengklaim dengan perkembangan metode pengurangan hasil panen dapat disiasati dengan pengurangan input kimia secara bertahap.” Kalau langsung dipotong maka banyak orang yang kaget akibat turunya hasil. Kita siasati dengan cara bertahap. Pertanian konvensional makin lama makin turun, tetapi dipertanian yang kita lakukan makin lama hasil makin meningkat” terang Rudi.

Penekanan pertanian organik pada pegolahan lahan dengan mempertahankan kesuburan alami. Penambahan unsur hara pada lahan pertanian menggunakan kotoran sapi yang difementasi. Pengendalian hama menggunakan pestisida nabati dari bahan sekitar. Serta penggunaan MOL (Mikro Organisme Lokal ) sebagai bahan mempercepat pengomposan dan pembuatan pupuk cair.“ Lahan kita saat ini bisa dikatakan mendekati kritis. Perlu penambahan bahan organik sebanyak-banyaknya. Saya mempersilahkan setiap orang untuk membuang kotoran sapinya ke lahan saya” ujar Ririn.

Kelompok tani maju jaya sampai saat ini telah mengembangkan produk ornganiknya.  Produk yang diahasilkan tidak hanya padi saja. mereka menanam sayur, buah dan aren yang dibudidayakan secara organik [].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun