"Alhamdulillah akhirnya sepatu kulit Edward Forrer saya rusak," guman saya dalam hati. Sol bagian bawah pecah-pecah sehingga saat menginjak genangan air, kaos kakinyapun terkena rembesan air. Namun kulit bagian atasnya masih sangat bagus dengan sedikit goresan di ujung sepatu karena tergores batu kali saat saya pakai menjelajah air terjun Kakek Bodo lewat aliran sungai. Sudah lebih dari 2 tahun sepatu relatif mahal serba guna tersebut menemani langkah kaki saya kemana-mana. Namun lama-kelamaan bosan juga dengan modelnya yang bertali. Rasanya sepatu bertali itu tidak praktis karena saat keluar-masuk ruang komputer harus mencopot dan memasangnya berulang-ulang. Belum lagi tali sepatunya yang lepas ikatannya. Terpikir juga mau membeli sepatu baru, tapi rasanya tidak enak sama istri untuk membeli sepatu baru bila yang lama masih bisa terpakai. Saya memang penganut fungsional, yang artinya membeli sesuatu berdasarkan fungsinya. Saya tidak suka ganti-ganti sepatu berdasarkan hari seperti ibu-ibu yang menyesuaikan model sepatu berdasarkan warna dan model baju. Akhirnya setelah mendapat persetujuan istri, sayapun berencana membeli sepatu baru. Jangan bilang saya suami-suami takut istri, tetapi lebih tepat sebagai suami-suami sayang dan hormat pada istri loh ya. Jadi membeli apapun untk kepentingan diri sendiri lebih nyaman atas sepengetahuan istri, walau itu dibeli dari gaji saya sendiri. Mulailah saya mengamati dan mencari-cari model yang pas untuk sepatu kerja kali ini. Stand Bucherri di Delta Plaza menjadi rujukan awal saya. Tidak perlu lama, sayapun menemukan sepatu pantofel warna coklat dengan kontur dan tekstur mirip kulit buaya. Nah sepatu yang pas saya pikir waktu itu. Sepatu kulit buaya yang dipakai di kota buaya, namun yang pasti pemakainya bukan buaya darat dengan air mata buayanya. [caption id="attachment_183898" align="alignright" width="310" caption="Sepatuku (Bucherri Vs. Bata)"][/caption] Hampir setahun saya menggunakannya. Rasanya saya cukup modis juga menggunakan sepatu coklat panjang dengan ujung sepatu sedikit melengkung ke atas. Saya membayangkan diri sendiri sebagai eksekutif muda yang turun dari mobil SUV. Saking seringnya dipakai untuk jalan kaki, hak sepatu bagian belakang sudah mulai tergerus. Jadi kita bisa melihat kebiasaan seseorang dari guratan 'trauma' pada sepatunya. Namun yang membuat saya tersadar walupun agak terlambat adalah, setiap pulang kantor rasanya kaki merasa pegal-pegal. Rupanya sepatu modis warna coklat ini membuat kaki menjadi pegal karena sol sepatunya yang kaku dan bentuk sepatunya yang meruncing di di ujung hingga membuat jari kaki tidak bebas menari di dalam sepatu. Beruntung keluhan saya akhirnya didengar istri. Istripun menyetujui saya untuk membeli sepatu baru dengan syarat, istri saya juga minta dibelikan sepatu kesayangannya merek. Sayapun tersenyum mendengar syarat tersebut dan mengangguk kepala dalam-dalam. Akhirnya, sebuah sepatu hitam merek Bata dengan sol lentur dan bahan terpuat dari bahan sintetis menjadi pilihan. Walau model baru menurut versi Bata, namun sebenarnya secara model masih kalah dengan sepatu coklat kulit buaya yang saya pakai sebelumnya. Namun ajaib, sepatu ini sangat nyaman dan jauh lebih nyaman dari sepatu Bucherri sebelumnya. Jadi untuk kegiatan kerja sehari-hari, saya memilih sepatu Bata hitam kulit sintetis saja. Sedangkan untuk acara khusus, saya memilih sepatu coklat kulit buaya dengan sedikit mengorbankan kaki pegal saat pulang ke rumah. Beruntung istri dan putri saya mau memijati kaki seperti yang saya tulis di Nikmatnya Pijatan Dua Wanita.
[caption id="attachment_183887" align="aligncenter" width="398" caption="Pengaruh Highheel pada kaki (Courtesy of blabberaroma.blogspot.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H