Sejak saya membaca beberapa buku karangan dari Dr. Ibrahim Elfiky tentang motivasi dan pengembangan kepribadian, saya jadi sering sensitif terhadap kata dan kalimat yang dilontarkan oleh orang lain. Buku "Terapi Berfikir Positif" mengarahkan saya untuk memprogram diri sendiri dengan kalimat-kalimat yang bernada positif. Karena menurut Dr. Ibrahim Elfiky, kalimat-kalimat tersebut seperti baris instruksi program yang akan masuk dalam alam bawah sadar kita dan menggerakkan kita berikutnya. sayapun mencoba untuk mengingatkan istri saya ketika berucap "Hayo makan, kalau ghak makan nanti sakit!" yang ditujukan kepada anak saya kala mereka susah diberi makan. Kemudian sayapun menyarankan kepada istri untuk mengubah kalimatnya menjadi "Hayo makan, supaya badannya sehat dan kuat!". Beberapa kali istri saya juga kelepasan ngomong dengan melontarkan kalimat, "Belajar! Kalau tidak belajar nanti bodoh."  Wah sayapun langsung mengingatkan istri sesuai dengan kaidah kalimat positif dengan mengubahnya menjadi "Ayo belajar nak, InsyaAllah kamu jadi pintar." Saya pernah lihat juga di sebuah sinetron sebuah adegan dimana seorang anak datang pada Ibunya yang miskin sambil membawa bungkusan yang berisi makanan dan pakaian. Seketika si ibu langsung menghardik si anak dengan kalimat, "Kau curi dari mana barang-barang ini! Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri nak..." Si anakpun diam ketakutan melihat ekspresi wajah ibunya yang marah besar. Rupanya si ibu telah berfikir negatif pada apa yang dilakukan oleh anaknya. Andai kata si ibu berfikir positif, maka dia tidak akan langsung menuduh si anak dengan kalimat negatif tersebut. Bos Juga Orang Tua Kita Di kantor, bos atau atasan adalah orang tua bagi para bawahannya. Dibutuhkan jiwa kepemimpinan (leadership) yang menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Atasan tidak boleh mentang-mentang berkuasa lalu kemudian kehilangan jiwa kepemimpinannya dengan memandang rendah dan remeh orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin juga harus berfikir positif dan melontarkan kalimat positif yang membangun semangat orang-orang yang dipimpinnya. Sebagai contoh kasus yang terjadi di sebuah tempat kerja teman saya. Dia bercerita kepada saya betapa dia kurang begitu suka dengan pimpinan kantornya yang katanya suka bependapat nyinyir dengan usaha yang dilakukan oleh teman saya dan teman-temannya. Pasalnya departemen tempatnya bekerja secara swadaya menyediakan makan siang ala kadarnya untuk semua orang di departemennya. Hal ini merupakan keputusan pimpinan departemen untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai mengingat gaji yang dibayarkan oleh perusahaan masih di bawah UMR. Sedangkan jika setaip pegawai di departemen tersebut harus makan siang sendiri-sendiri, selain masalah waktu juga biaya makan siang yang cukup mahal. Sebagai catatan, biaya  1 porsi makan siang + minum bisa mencapai 8 ribu rupiah. Itu berarti dalam 1 bulan setiap pegawai harus menyediakan 8000 x 20 hari = 160 ribu rupiah. Ditambah biaya transportasi 30 ribu x 4 minggu = 120 ribu. Total biaya operasional untuk kerja saja sudaj mencapai 280 ribu. Masih menurut teman saya tadi, kegiatan makan siang tersebut akhirnya diketahui oleh pimpinan perusahaan. Akibatnya departemen teman saya tadi menjadi bulan-bulanan pembicaraan di setiap rapat pimpinan. Celakanya kalimat yang mereka utarakan adalah kalimat negatif seperti berikut ini:
- "Wah hebat ya departemen A, ada acara makan-makan setiap hari, jangan-jangan uangnya diambil dari uang ATK." (catatan: ATK=Alat  Tulis Kantor)
- "Sudah dapat makan siang begitu prestasi departemen A masih dapat nilai C."
Wah gawat saya saya bilang ke teman saya tadi. "Semua model kalimat yang diucapapkan tersebut memang bernada negatif," ujar saya. Teman saya tersebut sambil cengengesan balik bertanya, "lah seharusnya gimana loh?" "Begini, kalimat pertama yang mengaitkan uang belanja dengan ATK itu pertanda bahwa pimpinan tersebut adalah tipe orang yang mudah curiga pada orang lain dan menganggap semua orang tidak jujur. Kemungkin pertama dia adalah tipe orang yang pernah trauma dengan perilaku orang lain," kata saya, mencoba meyakinkan teman saya tadi. Lalu teman saya tersebut bertanya lagi, "Lah kemungkinan kedua? Tadikan baru disebutkan sebagai yang pertama." Â "Yang kedua, mungkin dia mengukur perilaku orang lain dari perilaku dirinya sendiri. Orang yang biasa tidak jujur, akan cenderung selalu mencurigai orang lain juga tidak jujur seperti dirinya." Â "Hahahaha... benar juga lu bro!" kata teman saya sambil tertawa terbahak-bahak. "Sedangkan kalimat kedua seharunya dia berkata begini: 'Nah kalau kebutuhan makan siang sudah terpenuhi, ayo tingkatkan prestasi departemennya lebih baik lagi ya'." Â "Memang tujuannya mengaitkan antara makan siang dengan prestasi itu baik, tetapi jika disampaikan dengan cara yang salah maka hasilnya akan kontradiktif" Ujar saya menambahkan. "Iya benar mas, teman-teman di departemen jadi bersikap defensif dan tidak simpatik jadinya. bahkan sambil bercanda teman-teman bilang kalau ditambah makan malam pasti prestasi departemen malah jadi A," ujarnya sambil tersenyum lebar. Menilik dari kasus teman saya tadi di atas, rasanya memang seorang pimpinan harus paham posisinya sebagai orang tua yang kata dan kalimatnya mengandung tuah. Kalau dalam legenda rakyat Sumatra Selatan, pimpinan itu seperti Si Pahit Lidah atau sejajar dengan istilah "Sabdo Pandito Ratu" dalam kebudayaan jawa yang maknanya "Apapun yang diucapkan itu akan terjadi." Sebuah pesan atau nasihat yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik, agar tujuan dari pesan itu sendiri tercapai. Namun sebuah pesan dan nasihat yang baik hanya akan muncul bila kita ikhlas dengan tidak menyertakan perasaan iri, dengki dan hasut dalam memberikan nasihat tersebut. Yakinlah! Jadi orang tua, perhatikan kalimat Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H