Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Masyarakat Sakit di Tol Suramadu

24 Juni 2012   03:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Selepas maghrib, saya dan putri saya Dita bertolak kembali ke Sidoarjo setelah seharian pulang ke rumah orang tua di Bangkalan Madura. Rumah Setelah meluncur beberapa menit, sampailah saya di pintu masuk Suramadu. Tampak antrian di depan 2 buah loket yang panjangnya sekitar 10 sepeda motor.

Saat antrian kurang 5 sepeda motor lagi,  sebuah motor lain dengan dua orang pemuda tiba-tiba menyerobot antrian 1 sepeda motor di depan. Si pengendara di depan sayapun tidak mau ngalah, dia terus memepet rapat dengan antrian di depannya. Akhirnya si penyerobot antrian dibiarkan mendahului karena dia terus meraksek mendekati loket.

Tak lama kemudian, sebuah sepeda motor lainnya juga mencoba menyerobot antrian persis di depan saya. Dita, putri saya yang baru saja naik ke kelas 4 SD inipun bertanya, mengapa kok ada orang-orang seperti mereka yang sukanya menyerobot antrian. Sayapun menjelaskan kalau di masyarakat kita ini ada banyak orang yang sakit. Bila yang sakit fisiknya seperti panas dan demam, maka orang sakit fisik tersebut perlu dibawa ke dokter untuk didiagnosa apa penyakitnya untuk diberi tindakan medis atau pengobatan yang tepat.

Nah masalahnya, dalam masyrakat yang sakit, yang sakit bukan fisiknya melainkan jiwanya. Orang-orang yang menyerobot antrian  itu tidak memiliki rasa empati kepada orang lain. Buat mereka, kepentingan dan kepuasaan mereka lebih utama dari perasaan dan kepentingan orang lain. Padahal, andaikata mereka berhasil menyerobot antrian, itupun hanya terpaut tidak lebih dari 1 menit bila mereka antri di belakang. Namun dalam masyarakat yang sakit, logika berfikirnya mandek seiring dengan matinya jika pro sosial.

Akhirnya si penyerobot di depan saya, dibiarkan saja mendahului. Putri sayapun protes dan menunjukkan ketidaksukaannya karena telah 'kalah' dalam pertarungan antrian. Sayapun menjelaskan kalau kadang kala kita harus mengalah walau tidak berarti kalah. "Seng waras ngalah," kata saya mengutip kalimat yang sering diucapkan teman-teman saat bercanda di kantor.

Setelah melewati loket dengan membayar 3 ribu rupiah untuk sepeda motor, saya melanjutkan penjelasan saya. Maklum, putri saya bercita-cita menjadi psikolog untuk merealisasikan cita-cita bapaknya yang hanya menjadi psikolog abal-abal. Saya bilang kalau tingkatan pendidikan, pemahaman dan kesadaran beragama, serta tingkat kecerdasan sosial akan menetukan perilaku seseorang di masyarakat. Walau tidak sedikit mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan pengetahuan luas, namun memiliki kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual yang rendah. Tak heran bila para koruptor berasal dari strata sosial tinggi dengan pendidikan yang tinggi pula. Saya juga menjelaskan penyakit yang namanya kleptomania untuk mereka yang suka mengambil milik orang lain bukan karena lapar, tetapi karena perasaan puas.

Saya juga memberi contoh kepada putri saya, betapa berbahayanya mereka yang egois dan tidak bersikap pro sosial. Ada banyak kejadian seperti orang yang terinjak-injak saat antri pembagian sembako, zakat, dan antrian lainnya, hanya karena mereka takut tidak kebagian dan mengabaikan hak orang lain. Oleh karena itu saya selalu menekankan kepada semua anak-anak saya untuk tidak berebutan saat ada pembagian apapun di sekolah. Bila kebagian ya syukur, tidak kebagian tidak apa-apa. Kuncinya, jangan mengharapkan pemberian dari orang lain. Maklum, di sekolah anak saya sering kali ada pembagian produk dari sponsor seperti susu dsb.

Hikmah dari kejadian serobot-menyerobot antrian di pintu Tol Suramadu ini buat saya adalah, saya bisa mengajarkan sikap pro sosial dan rasa empati kepada putri saya dengan mengambil contoh langsung yang dia lihat dan rasakan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun