Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Haiyya Alas Copas

19 Juli 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lebih dari satu jam saya duduk di depan komputer, namun tak satu idepun keluar untuk menulis artikel terbaru di Kompasiana. Memang akhir-akhir ini saya jadi kurang tidur. Bahkan badan juga menjadi lebih kurus daripada saat sebelum kenal Kompasiana. Narkoba Kompasiana Bulan lalu, istri saya yang begitu setia dan mencintai saya akhirnya membawa saya ke rumah sakit untuk melakukan medical checkup lengkap dengan berbagai test, termasuk test urine, keratin, BUN, hingga kolesterol. Hasilnya sungguh-sungguh mengejutkan saya dan seluruh keluarga besar saya di Madura. Print-out hasil lab ditambah dengan diagnosa dokter menyatakan saya KECANDUAN KOMPASIANA. Luar biasa! Bagaimana bisa sebuah blog+forum diskusi bisa membuat saya kecanduan. Saya protes keras. Ini pasti malpraktek teriak saya pada dokter tersebut. Bahkan saking marahnya saya mengancam akan menuliskannya di Kompasiana dan mengadukannya ke IDI. Pak dr. Kenthir  yang menemui saya kemudian menjelaskan bahwa Kompasiana saat ini sudah dikatagorikan sebagai narkoba jenis duniamaya. Sifatnya yang membuat kecanduan atau bikin penggunanya mengalami ketergantungan, mengalami halusinasi, bahkan bisa over dosis jika kebanyakan dan menyebabkan sakau jika tidak membuka kompasiana seharipun. Hal tersebut menguatkan  Kompasiana sebagai kelompok narkoba jenis baru. Pak dr. Kenthir juga menyebutkan ciri-ciri  fisik saya yang sudah seperti junkies dengan mata merah, mulut berliur, lidah menjulur, hingga susah tidur alias insomania. Mendengar keterangan Pak dr. Kenthir tersebut istri saya langsung bertanya, "Bagaimana dokter cara merehabilitasi suami saya ini." Kemudian Pak dr. Kenthir menjawab, "Suami Anda ini harus dibawa ke Pusat Rehabilitasi Narkoba di Lido Bandung. Nanti di sana suami Ibu akan dijauhkan dari segala hal yang berbau internet, bahkan andaikata boleh akses internet, koneksi internetnya akan diberi filter dengan squid agar tidak bisa membuka kompasiana sedetik pun." Tapi setelah lebih dari 1 minggu saya dirawat di Pusat Rehabilitasi narkoba tersebut, saya diminta pulang oleh pimpinan lembaga tersebut. Pasalnya saya bukannya sembuh, malah  dituduh memberi pengaruh buruk pada para penghuni lembaga tersebut. Semua pasien, dokter, hingga tukang kebunnya berubah menjadi kompasianer dan mulai mengalami kecanduan yang sama dengan saya. Beruntung sekarang saya sudah di rumah dan mencoba untuk menulis kembali. Tetapi mungkin karena pengaruh obat-obatan terapi tersebut, saya menjadi agak dong-dong dan kehilangan 99% daya kreatif untuk menulis. Oh, sudah 1 jam saya di depan komputer dan tak satupun ide menulis muncul. Blogshop dan Syarif Saat persis jam di rumah berdentang sebanyak 12 kali diiringi dengan auman suara serigala, tiba-tiba saya mendengar seperti suara seseorang sedang berceramah menjelaskan kiat dan tip menulis. Mata saya yang tadinya dari tadi terpejam untuk memudahkan mendapatkan ilham, segera saya buka. Saya terkejut bukan kepalang, bahkan lebih mirip merinding disko. Ternyata saya sudah berada di tengah-tengah acara Kompasiana Blogshop, sebuah acara bergengsi yang memberikan pencerahan cara menjadi blogger yang baik. Saya lihat semua peserta tampak duduk rapi di kursi masing-masing dengan notebook keluaran terbaru di meja depan mereka masing-masing. Banyak yang kenal baik, namun tidak sedikit yang merupakan wajah-wajah baru. Oh rupanya para kompasianer lama dan baru berkumpul seperti sedang ospek ala mahasiswa baru nih. Sedangkan di bagian meja depan dekat mimbar, tampak Pak Ajinatha, Pak 'Dosen' Armand, Ibu 'Editor' Niken dan Pak I  Ketut Suweca. Rupanya mereka bertindak sebagai pembicara. Oh saya baru tahu, rupanya mereka adalah Admin di kompasiana selama ini. Ampun suhu... Tiba-tiba saat saya sedang mendengarkan Bu Niken yang sedang memberikan materi tentang etika menulis di Kompasiana, seorang yang tidak saya kenal melompat dihadapan saya menabrak meja dan membuat notebook butut saya terlempar. Untung seorang kompasianer yang berikutnya saya kenal dengan julukan Topeng menangkap notebook tersebut, sehingga tidak sampai jatuh berkeping-keping. "Hai, kamu Pak Choy ya?" tanya orang tersebut dengan nada membentak. "Iya benar, saya Choiron, dan panjenengan siapa ya?" tanya saya kembali dengan sopan walau adrenalin naik juga. "Kenalkan Saya Syarif! Kamu kompasianer yang cuman copas saja, ayo ngaku!" kata orang yang bernama Syarif ini. "Maaf, saya tidak pernah copas, suer." Jawab saya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah saya. "Bohong, kamu kompasianer tukan copas!" Bentaknya lagi. "Apa buktinya saya copy paste?" dengan nada bingung. "Lah, itu, semua tulisanmu sama dengan yang ada di http://blog.unitomo.ac.id/choiron." ujarnya dengan nada bangga karena berhasil mengajukan barang bukti. "Lah yaitukan blog saya sendir toh Mas Syarif. Ya bukan copaslah" jawab saya sambil tertawa geli. "Tidak bisa, pokoknya itu copas. Kalau tulisan ada 2 pasti salahsatunya asli dan yang lain palsu." "Wah ya ora isok ngono toh Mas. Itu cuman backup karya tulis saya saja karena takut suatu hari server kompasiana rusak terus hasil karya tulisku yo melok ilang pisan." ujar saya dengan wajah memelas meminta pengertiannya. Melihat si Syarif ini masih terus ngeyel, saya jadi ingat nasihat  Sun Tzu ( 544 BC-496 BC ) yang menyatakan kalau menyerang adalah bentuk pertahanan yang terbaik. Karena dia mengajak berdebat, maka saya menyerangnya dengan pertanyaan. "Lah apa mas Syarif sendiri tidak pernah merasa sebagai tukang copas?" Tanya saya dengan nada heran. "Siapa bilang saya tukang copas, huh! Saya hanya men-translate artikel lain bukan copas tauuuuuuuu." "Taaaau." Jawab saya dengan sedikit lebay. "Tapi tetap saja itu namanya copas. Memangnya sejak kapan kompasiana butuh tukang translate? Inikan blog mas Syarif, bukan lembaga bahasa asing maupun pusat terjemahan yang dibayar 10ribu per halaman" Ujar saya dengan mantab. "Ya beda toh, copas ya copas tulisannya mirip seperti punya kamu. Kalau translate-kan bentuk nya sudha beda antara yang asli sama hasil translatenya." Jawabnya ketus. "Lah isi blog saya juga beda dengan yang di kompasiana. Di blog saya pakai font ukuran arial 10, sedangkan di kompasiana saya pakai font trebuchet ukuran 12, yek!" Jawab saya tidak mau kalah. "Tapi niat saya mulia! Hasil translate saya untuk membela agama dan Tuhan. Ini Semua jihad fi sabilillah!" Tiba-tiba si Syarif ini melompat ke atas meja dan mulai meluncurkan pukulannya. Melihat gerakan tangannya yang tampak kekar seperti Ade Ray, saya jadi takut setengah mati, karena susah membayangkan pipi saya ditampar dengan tangannya yang keras. Saya coba menghindar ke kanan, namun tetap saja pipi saya terkena tamparannya. Aneh bin ajaib! Efek tamparan yang saya takuti tadi ternyata tidak terasa apa-apa. Bahkan saya heran, ini pukulan atau cuman elusan. Lah pipi saya terasa dielus-elus saja. Tiba-tiba saya melihat si Syarif ini berubah menjadi sosok lain. Tidak jelas apakah dia ini tetap laki-laki atau perempuan. Suaranya berubah menjadi perempuan dan mulai muncul isak tangis. Demikian juga dengan bentuk fisiknya. "Hai, kamu ini Syarif apa Syarifah sih?" Tanya saya keheranan. Si Syarif yang berubah menjadi  Syarifah ini tidak juga berhenti menangis sambil meraung-rauh sambil berkta berulang-ulang. "Aku tidak copas.. aku tidak copas..." Teriaknya berulang-ulang. Para admin yang tadi diam saja segera datang mendekat. "Cep-cep-cep nak... iya kamu tidak copas, kamu cuman translate aja kok... sudah diam ya." Kata salah seorang Admin mencoba menenangkan si Syarifah, sambil melihat ke saya dan mengerlingkan mata. Tiba-tiba, si Syarifah ini kembali melompat dan mencekik leher saya. Saya tidak bisa bergerak kecuali bilang, "copas-copas-copas." "Pak, pak bangun.  Mimpi apa sih kok dari tadi teriak-teriak copas. Ayo bangun dan ambil air wudhu sana. Sebentar lagi subuh." Kata istri saya sambil senyum-senyum. Ceilah... rupanya saya tadi bermimpi. Mimpi tentang copas, tetapi saya lupa apa isi lengkap mimpinya. Padahal terakhir tadi saya duduk di depan komputer untuk menulis sesuatu, dan ternyata saya tertidur di depan komputer. Saat saya mengucek-ngucek mata untuk membuat penglihatan menjadi lebih jelas. Lamat-lamat terdengar sebuah suara dari sebuah speaker. Dari berlahan semkain lama semakin jelas terdengar. "Haiyya Alas Copas........" "Haiyya Alas Copaaaaaas......" Hah! cengkoknya seperti adzan tetapi kok lafadznya berbeda. Pasti ini kompasianer penganjur copas sedang adzan. Mendengar suara adzan aneh ini saya jengkel luar dalam (meminjam istilah panas dalam). Bagaimana dia menyebut nama Tuhan untuk membenarkan tindakannya bahkan menyeru orang lain untuk copas. Tuhan dijadikan pembenaran tindakannya. Huh! [caption id="" align="alignright" width="300" caption="Jumrah (Courtesy of http://augispot.blogspot.com/)"][/caption] Saya segera mengambil batu kerikil sebanyak 7 butir. Hal ini mengingatkan saya akan ritual haji bernama Jumroh yang mencontoh nabi Ibrahim saat bertemu dengan syaitan yang hendak menghalangi Nabi Ibrahim menyembelih Ismail. Seketika saya lempar batu pertama sambil membaca doa, "bismillaahi allaahu akbar. rajmallisysyayaathii ni wa ridhallirrahmaani. (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Kutukan bagi segala syetan dan ridha bagi Allah yang maha pemurah.)" Lemparan pertama membuat volume suara tersebut mulai mengecil. Hingga akhirnya setelah lemparan ketujuh, suara ajakan copas  tersebut benar-benar hilang. Sayapun terdiam sambil tersenyum girang. "Pak-pak... bangun... sudah subuh"  Terdengar suara perempuan seperti istri saya. Sayapun terbangun dan mencoba untuk duduk. Perasaan tadi saya sudah bangun. Kok ini dibangunkan lagi. Saya tidak habis pikir. Mungkinkah saya bermimpi dalam mimpi? Entahlah... Tapi rasanya kepala saya sudah mulai menemukan ide untuk menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun