Ini malam ter-aneh yang saya rasakan sepanjang saya membuka akun fesbuk sejak 2010. Pasalnya, gara-gara KTP Jokowi, seorang teman lama, memutus pertemanan dengan cara mem-blok. Ini membuat saya paham, betapa ada juga orang yang menutup mata pada apapun kebenaran tentang Jokowi, dan begitu bahagia bila dapat menampilkan berita buruk tentang Jokowi, walaupun ternyata berita tersebut hoax/bohong, bahkan cenderung fitnah. Kisahnya dimulai saat sedang asyik membaca beberapa status fesbuk teman-teman, yang malam itu masih seputar persaingan antara Jokowi dan Prabowo. Tiba-tiba mata tertuju pada status seorang teman lama (SMA) yang menampilkan link dari sebuah portal berita, tentang adanya laporan KTP Jokowi yang diduga palsu. Seingat saya, issue KTP palsu tersebut sudah pernah diuangkap dan dibahas di Kompasiana. Bahkan seorang teman di fesbuk juga sempat menampilkan gambar KTP Jokowi yang diduga palsu tersebut. Si pelapor mempermasalahkan ketidak-sesuaian antara kode awal KTP Jokowi dengan alamat domisilinya. Berikutnya saya masuk kembali ke Kompasiana untuk mencari artikel yang pernah membahas tentang kasus KTP Palsu Jokowi. Beruntung saya mendapatkan tulisan K'ners Tisman Tasmaun dengan judul Kebencian kepada Jokowi Yang Akut Menimbulkan Fitnah Dan Laporan Palsu ? Artikel tersebut cukup tangkas menjawab kronologis munculnya issue dan menjawab apa yang menjadi permasalahannya. Dari penjelasan Tisman, nomer KTP atau e-KTP seseorang tidak berubah, walapun seseorang pindah domisili. Itu mengapa nomer e-KTP Jokowi masih berkode Sukoharjo atau Solo, walaupun Jokowi sudah pindah menjadi penduduk DKI Jakarta. Tisman juga menjelaskan kalau si pelapor salah paham tentang model penomeran e-KTP yang saat ini berlaku, dan sudah meminta maaf. [caption id="" align="alignnone" width="640" caption="KTP Jokowi yang diduga palsu (Sumber: www.jurnal3.com)"][/caption] Link penjelasan Tisman tersebut saya sampaikan melalui komentar di status teman SMA saya tersebut, kalau berita tentang KTP palsu Jokowi tersebut berita lama dan sudah clear. Saya juga tekankan untuk berhati-hati dalam menyebarkan berita bohong yang berujung ke fitnah. Sebenarnya, ada seorang teman lain yang sempat menyampaikan keprihatinannya karena si teman SMA ini begitu membabi-buta memberitakan keburukan Jokowi yang merupakan fitnah dan bagian dari Black Campaign. Namun respon si teman SMA tersebut bukannya mendiskusikan kesalahan pemberitaan tentang KTP palsu Jokowi, malah memberi link kesalahan dalam mendukung Jokowi dengan issue SARA. Link tersebut menuduh Jokowi bagian dari antek Yahudi, Kristen dan Syiah. Saat saya ajak kembali ke topik awal kesalahannya dalam menampilkan issue KTP Palsu dan ajakan untuk menghindari issue SARA, dia malah tertawa senang karena saya dianggap kalah. Akhirnya saya coba meng-counter issue SARA tersebut yang dibalasnya dengan mem-block dan memutus pertemanan di fesbuk. Sedih sih, karena sebenarnya mungkin masih banyak orang-orang model begini yang membenci sesuatu dan tidak bisa berlaku adil pada apa yang dibencinya. Sedihnya lagi, ini cerminan belum dewasanya sebagian masyarakat kita dalam berdiskusi dan berbeda pendapat. Setiap yang berbeda pendapat masih sering dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, dan bukan sebagai partner untuk berdiskusi dan berlatih berargumentasi. Ya, pada akhirnya saya hanya berharap bahwa Pilpres 2014 ini bisa menjadi ini bagian dari proses pendewasaan masyarakat kita untuk berdemokrasi yang baik, tidak mudah terhasut berita bohong, tidak terjebak pada permainan issue SARA dan yang pasti, berani membuka ruang dialog serta menghargai perbedaan pendapat. #JKW4P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H