Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Berhenti Mengejar Matahari

23 Januari 2014   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13904475701965252856

Pagi yang cerah, saat kubuka jendela rumah. Angin segar dan aroma bunga melati yang tumbuh di halaman, menyambutku. Suasana sejuk yang lama tidak aku jumpai lagi. Aku melangkah bertelanjang kaki di antara rerumputan basah berembun dan hamparan batu kerikil yang memijat lembut kakiku. Nun jauh di sana, terdengar suara gemericik air sungai yang mengalir di perbatasan desa dan tepian hutan bambu. Kulihat seekor tupai memanjat batang kayu pohon jati tinggi besar. Sementara suara burung saling bersahut-sahutan, menggema di antara hijaunya pepohonan dan rumpun bambu yang bergesekan tertiup angin. Lembut. Perlahan. Seperti sebuah adegan film slow motion. Aku melompat ke sebuah batu besar di tepi sungai. Airnya jernih seperti dulu saat terakhir aku pulang. Itu karena hutan desa yang masih terjaga hingga saat ini. Kali ini aku melepas bajuku. Aku ingin membiarkan angin sejuk mengusap dan membelai kulitku. Aku ingin membiarkan sinar matahari pagi menyapa dan menghangatkan ragaku. Ya. Matahari pagi yang selalu aku nantikan dan rindukan.

berharap malam segera berlalu tak sabar bersua kilauan embun esok pagi yang bergelayut manja di pucuk ilalang dan rerumputan serta hangatnya sinar mentari pagi

Aku duduk tegap bersila dengan mata terpejam. Aku biarkan ragaku tanpa beban dan lepas. Sementara tarikan nafasku mulai panjang, dalam dan teratur. Kurasakan matahari. Sesuatu yang selalu kunanti dan rindukan setiap harinya. Belaian hangatnya menjadi semangat hidupku.  Terkadang ku harus mengejarnya tuk bisa selalu bersama. Kini kuputuskan untuk berhenti mengejarnya. Jauh, memang akan merindu. Terlalu dekat, akan membakar raga dan sukmaku. Membiarkannya akan jauh lebih menentramkanku. Aku menikmati saat langit timur berwarna merah jingga. Dan lembayung senja, kala matahari pulang ke peraduannya. Suara merdu dedaunan yang dimanja angin, gemericik air sungai yang mengalir bebas, dan kicau burung serta usapan lembut cahaya matahari, membawa ku pada kesadaran lain. Mereka seperti sebuah simponi alam yang Tuhan berikan kepadaku. Terimakasih Tuhan, atas segala nikmatMu. Aku membuka mataku kembali. Kali ini dunia jauh lebih berwarna dan menenangkan. Tak ada beban yang harus aku simpan. Semua lepas dan bebas. Kali ini waktunya untuk membasuh raga. Berlahan, aku turunkan kaki dan masuk ke dalam air. Dingin, namun menyegarkan. Aku berenang di antara bebatuan. Tak sengaja ku melihat ukiran kata 'cinta' di sebuah batu besar lainnya lebih dari 20 tahun yang lalu. Tulisan dan simbol cinta yang sama. Seperti yang aku miliki saat ini. Ternyata cinta yang kupahat di batu, tak lekang oleh terpaan air, angin dan waktu. Sedangkan kata cinta yang kugoreskan di pasir pantai, hanya bertahan tidak lebih dari sepenggal hari saja. Dan..., matahari menggoreskan kata cintanya di hamparan pasir saja. sumber gambar

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun