Cerita sebelumnya:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/04/17/allysa-sakit-apa-649525.html
Jam 4 menjelang subuh aku terbangun kembali saat mendengar Allysa kembali terbatuk. Rasanya aku tidak benar-benar bisa memejamkan mata sedari jam 2 pagi tadi. Aku melangkah menuju kamar Allysa untuk memeriksanya. Saat aku raba dahinya, panasnya sudah mulai turun dans edikit berkeringat. Suhu ruangan memang sengaja aku naikkan agar tidak terlalu dingin dan cukup nyaman di kisaran 20 derajat celcius.Allysa masih tertidur dengan nafas teratur. Aku berdiri memandang wajahnya yang menampakkan kecantikan gadis dewasa. Entah mengapa banyak wanita cantik tetapi nasibnya tidak beruntung dalam memilih pasangan hidup. Menagapa juga Allysa bertemu dengan diriku yang ternyata tidak punya kemampuan untuk menikahinya. Sekali dia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria, ternyata pernikahannya tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Aku mengusap rambutnya sebelum menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Saat keluar dari kamar mandi, tampak bulan purnama begitu sempurna. Bulan sedikit bergeser di arah barat dan tampak begitu terang menyinari Surabaya. Aku menghampar sajadah di dekat jendela dan tenggelam dalam munajat. Ada perasaan bersalah menapa aku ada di sebuah ruangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Mengapa aku sekarang begitu biasa menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, seperti Allysa. Ya, mungkin aku tergolong dalam manusia fasik. Mengerjakan perintah dan larangan sekaligus, walaupun menurutku ini hanya kesalahan kecil. Memang tidak ada dosa besar tanpa dosa kecil. Dan jika terbiasa menganggap dosa kecil adalah hal yang biasa, bukan mustahil akan terjebak pada dosa besar, karena dosa kecil yang dilakukan berulang-ulang, akan membuat hati menjadi keras dan akhirnya menutup mata hati untuk membedakan mana yang benar yang diridhoi Allah dan mana yang munkar. Cukup lama aku berdialog dengan diriku hingga akhirnya adzan subuh terdengar dari masjid perkampungan di belakang apartemen.
Allysa terbangun saat aku bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh, dan keluar dari kamarnya.
"Lisa mau kemana?" Tanyaku saat Allysa berdiri di depan kamarnya.
"Mau ikutan sholat subuh sama Mas Adit, tunggu ya." Aku terpaku dengan kalimat Allysa. Aku merasa seperti dejavu, walaupun sholat berjamaah biasa aku lakukan saat bersama Anita. Saat dulu aku jalan-jalan dengan Anita, dia tidak pernah lepas untuk sholat dan dia biasa mengajakku sholat berjemaah. Kini Allysa memintaku menjadi imam dalam sholatnya.
Lima menit berikutnya, Allysa keluar dengan telah memakai mukenah dan sajadah di tangannya. Jalannya masih tampak masih sempoyongan, walau tidak seperti sore kemarin. Dia menghampar sajadah di belakangku.
"Kalau masih pusing, sholatnya duduk saja ya," pintaku kepada Allysa.
"Iya masih pusing sedikit, tetapi Lisa berdiri saja sholatnya," jawab Allysa.
Aku berdiri untuk memulai sholat subuh. Allysa mengikuti di belakangku. Bacaan sholatku aku percepat dengan membaca surat pendek saja. Aku sendiri tidak bisa benar-benar khusuk, karena ada kekhawatiran tiba-tiba Allysa terjatuh. Sebenarnya kalau dia tadi memutuskan untuk sholat sambil duduk, mungkin akan jauh lebih menentramkan. Hingga sholat diakhiri dengan salam, Allysa masih bisa mengikutiku.