Entah sejak kapan kembang api  identik dengan perayaan lebaran. Namun saat saya kecil dulu, petasan (mercon) dan kembang api adalah 2 benda yang selalu muncul dan dijual di bulan puasa menjelang lebaran. Saya bisa menghabiskan berbungkus-bungkus petasan hingga akhirnya dimarahin oleh Ibu karena kata Ibu, kegiatan membakar kembang api dan petasan itu sama seperti membakar uang saja. Sejak itu saya tidak lagi mau menyulut petasan maupun kembang api. Ada yang berbeda dengan lebaran tahun ini di perumahan saya di Sidoarjo. Malam ini kembang api meledak dan memancarkan hujan cahaya berbentuk bunga indah di langit gelap. Ya, yang pasti bukan kembang api seperti yang saya biasa bakar dulu berupa sebatang kawat berlapis bahan magnesium yang dibakar dan memercikkan bunga api hingga membuat sarung menjadi berlubang-lubang. Kembang api kali ini sama seperti yang digunakan yang saya lihat  balai Kota  Surabaya dan Pelabuhan Tanjung Perak saat perayaan ulang tahun kota Surabaya dan setiap acara tahun baru.
Lebih dari 50 kali saya lihat ledakan kembang api bercampur dengan takbir yang bergema dari speaker masjid perumahan yang baru selesai tahun ini. Saya dan kedua anak saya berlari ke luar rumah untuk menyaksikan parade siraman cahaya warna warni dengan berbagai bentuk kombinasi arah garis luncuran cahaya. Sampai tulisan ini dibuat, peluncuran kembang api terus terjadi di luar rumah. Perasaan haru dan seru bercampur menjadi satu. Mengingat Allah masih mengijinkan saya untuk menyelesaikan ibadah puasa tahun ini. Entah tahun depan, namun semoga Allah masih memberikan kesempatan untuk saya dan keluarga menikmati ibadah puasa, kumandang takbir dan tarian kemenangan cahaya kembang api di atas langit perumahan kami tahun depan. InsyaAllah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H