Baiklah, saya mau melakukan pengakuan "dosa". Hahahaha.... Baru saja saya menghapus sebuah komentar yang OOT (Out of Topic) dan tidak sesuai dengan tujuan penulisan artikel saya. Rasanya cukup memuaskan, karena seolah-olah Saya berkuasa penuh terhadap tulisan saya sendiri tanpa merasa tertekan, takut Anda akan marah karena komentar Anda saya hapus. Berikutnya, saya juga merasa Admin memberikan previlage kepada saya untuk menggunakan tombol DELETE yang memang tersedia untuk digunakan, bukan hanya sebagai aksesoris saja. Tuhan menciptakan tombol delete pasti ada fungsinya. Hasil wawancara imajiner saya dengan Admin, Admin berkata, "Pak Choy, saya titip tombol Delete. Jika memang darurat untuk digunakan, maka silahkan gunakan dengan sebaik mungkin." Jawab saya, "Terimakasih Admin, saya akan pegang amant tersebut dengan sebaik mungkin." Mengapa saya menghapus komentar Anda? Sebenarnya kalau alasannya karena OOT, saya tidak terlalu mempermasalahkan. Namun jika sebuah komentar bisa membahayakan stabilitas regional Kompasiana, maka pemilik lapak berhak untuk menghapusnya. Misal, penulis membahas tentang perlunya perdamaian dan saling memaafkan. Tujuannya untuk mendamaikan antar orang per orang. Namun kemudian sebuah komentar dari orang ketiga dengan nada miring yang menyerang salahsatu pihak.  Jika dibaca oleh salah satu pihak, maka justru akan seperti menyiram bensin pada api yang hampir padam. Si pemilik lapak sebagai penguasa tombol Detele, bisa menggunakannyau ntuk mengatur keluar masuknya komentar di lapaknya. Pemilik lapak juga bertindak sebagai "moderator" yang adil dan bijaksana saat  terdapat perdebatan di dalamnya. Seolah-olah pemilik lapak berfungsi sebagai pemadam kebakaran saat lapaknya kebakaran. Mungkin Anda akan berkata "Loh ngasih komentar ya bebas-bebas saja dong. Itu hak setiap orang. Kalau tidak setuju dengan isi komentarnya, ya silahkan jawab juga dengan komentar yang menyanggahnya. Biar nanti pembaca lain yang berhak menilai pendapat mana yang benar dan yang salah." Secara normatif, saya memang setuju dengan etika seperti itu, membalas komentar dengan komentar. Namun beberapa komentator seringkali punya jiwa "ngeyel" yang tidak berhenti berdebat sampai lawannya berhenti menjawab komentarnya sebagai tanda kekalahan. Jika Anda adalah orang seperti yang saya maksud, ada baiknya Anda membaca Komentar Panjang Artikel Baru dan Keluar dari jebakan  Debat Tak Berujung. Namun tetap saya tidak setuju, jika tombol Delete tersebut digunakan secara sembarangan. Tombol delete tersebut tidak boleh digunakan pada sebuah komentar yang: 1) memberikan koreksi, 2) meminta konfirmasi kepada penulis dan 3) memberikan informasi tambahan. Sedangkan komentar yang berisi 1) caci maki, 2) penilaian subjektif pada orang lain, 3) spam atau argumentasi tanpa fakta, dan 4) komentar mengadu domba, buat saya lebih baik 'tidak ditampilkan' untuk mencegah terjadinya 'mudhorot' yang lebih besar daripada 'manfaat'. Bagaimana dengan Anda? ________________ Gambar DELETE diambil dari http://namasayanini.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H