Mohon tunggu...
Setiawan Chogah
Setiawan Chogah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namanya Mutia (KabarIndonesia, 05 Oktober 2011)

8 November 2011   20:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:54 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="180" caption="Cerpen Setiawan Chogah"][/caption] Ini sudah tahun ke tiga aku di Banten. Sungguh di awal keberadaanku di ujung paling barat pulau Jawa ini, kamu begitu telaten menderaku dalam rindu berkepanjangan. Kamu! Ya kamu, kamu yang membuat aku kembali berani untuk jatuh cinta, kamu yang tersenyum manis setiap kali pandangan kita berserobok di ruang makan, lalu kamu tersipu malu dan menunduk dengan pipi bersemu kemerah-merahan. Ai! Mutia, kenangan itu kembali berseliweran di benakku. Mutia Farlina, bagaimana kabarmu di sana? Ah! Barangkali kamu sudah punya cowok baru, oh maaf, maksudku kamu sudah punya cowok. Aku lupa kalau dari dulu kamu mengatakan padaku, bahwa kamu belum mau pacaran. Hihiii. Aku lebih suka memanggilmu ‘Mut’ dari pada ‘Lina’, bagiku panggilan ‘Mut’ lebih cocok menggambarkan karakter kamu. Kamu kan imut-imut, kayak marmut. Hehee. Ketika aku mengatakan itu, kamu menunduk lagi. Lagi-lagi menunduk. Ah! Mutia, kamu itu makin membuat hatiku meradang dengan gayamu menunduk. Begitu anggun dan cewek banget! Aku masih ingat, di awal perkenalan kita, kamu begitu meninggalkan kesan di hatiku, Mut. Waktu itu kamu menjadi juniorku di sekolah kita. Sebuah boarding school di Maninjau sana. SMAN Agam Cendekia. Ai! Bicara soal Maninjau, pikiranku kembali melayang ke danau itu. Bagaimana tidak, suasana hijau seperti Maninjau begitu sulit untuk aku temui di sini. Yang ada hanya hingar-bingar deru kendaraan, asap pabrik yang menyesakkan, dan pohon-pohon beton yang membuat mataku tak betah untuk melihatnya berlama-lama. Mut, aku kangen Maninjau. Lebih-lebih sekolah kita yang berhadapan langsung dengan danau dan PLTA. Aku merindukan saat kita tertawa lepas sembari menikmati pensi di pinggir danau. Melampari air biru di hadapan kita dengan cangkang-cangkang kerang, menyisakan kemericik merdu dan riak kecil, lalu membentuk sebuah lingkaran yang kian lama kian membesar. Persis seperti cintaku padamu. Ketika melihat fotomu yang aku aku ambil secara diam-diam di musholah, anganku kembali melayang ke tempat itu. Waktu itu kamu lagi membawakan lagu “Ibu”-nya Shaka di acara Muhadaroh, Minggu pagi. Oh! Suaramu benar-benar menyejukkan hati, kamu begitu anggun berdiri di antara teman-teman grup nashidmu. Dengan setelan baju warna krem dan rok hijau panjangmu itu, kamu terlihat begitu manis, lebih-lebih ditambah dengan jilbab berwarna senada dengan bajumu itu. Ambooy! Kamek bana! Beruntung sekali aku bisa bersekolah di sini, di Maninjau. Setiap pagi menikmati udara segar, merasakan angin sore yang berhembus sepoi dari arah Puncak Lawang, dan menyaksikan kerlap-kerlip lampu kendaraan yang merambari jalan menanjak di Kelok Ampek Puluah Ampek dari jendela asramaku. Kerlap-kerlip yang makin lama makin mengecil, mungkin itu lampu kendaraan yang mau menuju arah Bukittinggi, atau sebaliknya lampu kendaraannya yang hendak ke Lubuk Basung. Tapi tetap saja, kerlap-kerlip itu begitu aku rindukan. Eh! Aku tengah melihat fotomu yang di perpus, ini mengingatkanku pada sebuah kejadian manis yang pernah terjadi di antara kita. Begini; Saat itu kamu sedang ngobrol dengan Syarif di perpustakaan, teman sekelasmu. Kamu memang selalu curhat dengan dia kan? Aku bukan cemburu lho? Mana mungkin aku cemburu dengan Syarif yang jelas-jelas anak rohis. Sebenarnya waktu itu aku ingin mengembalikan buku, tapi begitu melihat Syarif, aku jadi ingat dengan janjiku akan meminjamkan kaset Snada. Ya, kebetulan saja ada kamu di sana, aku merasa seperti ketiban durian runtuh. Apakah kamu tahu, Mut? Aku rasa kamu tahu. Waktu itu sel darahku mengalir begitu cepat, mataku tak bisa berkedip sedikit pun, tubuhku menggigil. Dan ketika aku duduk di samping Syarif, hanya beberapa jengkal darimu, itu rasanya sungguh menyesakkan dada. Tapi untung waktu itu kamu menundukkan wajahmu. Sehingga kamu tidak begitu jelas melihat kegugupanku, kalau tidak. Alamak! Betapa malunya aku. Setelah cukup lama berusaha mengendalikan perasaan, dan sepertinya Syarif tahu maksudku ketika aku menatapnya agak lama sambil mengedipkan mata. Lalu tinggallah kita berdua. Ya hanya kita berdua, orang-orang yang sedang membaca itu kita anggap saja penonton, hihiii. “Hai,” aku menyapamu. Dan kamu tersenyum. Aduhai! Jantungku mau copot melihatmu tersenyum, Mut. “Eh, Bang Awan dengar, kamu menang lomba fashion show yang di novotel itu ya? Selamat ya! Hebat,” kataku waktu itu. Lalu kamu kembali tersenyum. Ampun! Aku benar-benar tidak sanggup melihatmu waktu itu. “Hehe, makasih Bang Awan. Bukan fashion show kok. Cuma lomba peragaan busana muslimah biasa,” jawabmu lembut, dan masih tersenyum. Aku jadi malu, tenyata fashion show dengan peragaan busana muslimah itu beda ya? Ah! Mungkin menurutmu itu berbeda, Mut, aku menurut saja. Lalu sampailah pada saat yang paling membuat aku tersipu malu dan kapok untuk mengulanginya. “Mut, mmm…,” aku kehilangan kata-kata. “Kenapa, Bang?” kamu bertanya, membuatku makin gugup. “Kamu… kamu belum punya pacar kan?” oooh, leganya aku setelah mengucapkan kata itu. “Kenapa?” jawabmu singkat. Alamaaak! Aku kembali gugup, tanpa berbasa-basi lalu aku ungkapkan niatku itu. “Kalau belum, mau kan jadi pacar Bang Awan?” lalu aku diam, harap-harap cemas. Kamu tidak langsung menjawabnya, Mut. Selang satu hari berikutnya, aku mendapatkan selembar kertas surat berwarna pink dari Syarif, katanya surat untukku dari kamu. Di surat itu kamu katakan “Bang Awan yang baik, maaf, Lina gak bisa menerima permintaan Bang Awan. Bukannya Lina sombong, ataupun Lina sudah punya pacar. Bukan sama sekali. Hanya saja… Lina gak mau pacaran, Bang. Itu prinsip Lina dari dulu. Lina mau langsung nikah aja.^^ Lagian sebentar lagi Bang Awan kan mau lulus, lebih baik Bang Awan fokus saja dulu sama UNnya. Semoga sukses ya Bang, salam. Lina” Hahaa, surat itu masih aku simpan Mut, tak sabar rasanya ingin cepat diwisuda, lalu bekerja dan aku segera melamarmu. Semoga kamu masih mempertahankan prinsipmu itu. Amin (*) (*Kamar kostku yang sumpek, Serang, 31 Mei 2011- 03:19AM Semoga saja kamu tidak membaca ceritaku ini, Mut, soalnya aku masih pemalu seperti dulu ^^ Setiawan Chogah, lahir di Atar-Batusangkar, Sumatera Barat 2 Desember 1988. Mahasiswa Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media seperti Padang Ekspres, Annida, Radar Banten, Majalah Story, Majalah Anak IMUT, Tribun Jabar, Singgalang, Baltyra, dan Ilmuiman.net, serta terangkum dalam beberapa antologi diantaranya Gilalova#2 (Gong Publishing, 2010), Orang Bunian (Leutika, 2011), E-Love Story (Nulisbuku, 2011), Para Guru Kehidupan (Geraibuku, 2011), dan Dua Sisi Susi (Universal Nikko, 2011). Saat ini menjabat sebagai Pemred di LPM Reaksi FT. Untirta dan mengelola grup menulis Forum Tinta Sahabat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun