Derit pintu yang terbuka perlahan membuatku terpaksa mengakhiri kegiatanku. Aku tak melanjutkan kegiatanku baru saja, namun aku juga tak segera berbalik. Sementara derap langkah kaki lembut yang tengah menapaki lantai kayu mulai terdengar.
Kuhela nafas panjang begitu menutup buku yang kubaca. Buku itu lusuh, berisi kumpulan puisi dengan tulisan tangan yang mulai memudar tintanya. Kertasnya telah menguning. Buku itu masih dibalut sampul indah dan tebal dari serat kayu cendana yang ukirannya masih jelas dan mengilat.
Wangi cendananya masih tercium jelas, menimbulkan kesegaran di tengah nuansa lama.Lama sekali kuamati buku itu hingga buku itu berpindah dari tanganku.
“ Bunda..” bisik lelaki itu lembut.
Aku mendongak. Lelaki itu seakan telah memperoleh kemenangan besar. Ditimang-timangnya buku tua itu masih dengan mengulum senyum. Aku menatapnya dingin dan kemudian ia merangkulku sambil tertawa-tawa. Ia kira aku sedang bergurau.
“ Bunda, aku hanya bercanda..” lelaki itu merangkulku.
“Aku lapar sekali, Bunda mau membuatkan aku makanan ? " katanya lagi. Aku tak bergeming.
" Ayolah, Bunda. Kalau Bunda mau, kita bisa makan bersama..“ bujukya dengan manja. Aku sama sekali tak senang mendengar kata-katanya, dan merebut bukuku dengan kasar.
“ Bunda, Arka lapar..“ panggil lelaki itu untuk kesekian kalinya.
Aku tak menjawab dan mendadak bangkit dari kursi. Melangkah menuju dapur dan segera melakukan yang dimintanya sebelum dia berkoar-koar lagi. Arka sadar ia telah menang, ia pun bersorak pelan. Lalu dengan ceria ia mengikutiku ke dapur dan memperhatikanku memasak sambil bersenandung.
Ia berdiri di sampingku, mengamati apa saja yang aku lakukan. Ia dengan cermat melihatku memotong sayuran, merebus spaghetti, dan meracik bumbu. Ia terpekik senang begitu makanan yang ia inginkan siap santap. Aku sama sekali tak menggubris Arka yang dengan antusiasnya menyiapkan piring dan segala sesuatunya.
“ Bunda, kita makan bersama ya..? “ Arka menyodorkan sepiring spaghetti ke hadapanku, super porsi. Aku menelan ludah, sama sekali tak bernafsu makan dan hanya bernafsu untuk berteriak-teriak. Melihat kebimbanganku, Arka meletakkan piring itu dan mendudukkanku di hadapannya. Karena aku begitu malas, aku hanya mengaduk-aduk spaghetti itu tanpa memakannya.
***
“ Bunda tidak makan ? “ Arka mengetuk meja dengan garpunya. Aku tersentak dan menggeleng tanpa ekspresi. Spaghetti di piringku masih utuh. Aku menghela nafas panjang lagi. Aku bermaksud melangkahkan kaki pergi dari ruang makan, tapi Arka menarikku kembali.
“ Ayolah, Bunda. Aku susah kalau Bunda sakit..“ sambungnya. Aku masih tak mau menyahut. Entahlah, aku benar-benar suntuk hari ini. Aku tak mampu berpikir jernih. Di otakku bergumul berbagai masalah yang menyesakkan dadaku.
“ Bunda masih marah soal buku itu ? Bunda, sudah aku bilang tadi, aku hanya bercanda..”Arka mendudukkanku kembali di kursi. Ditatapnya kedua mataku lekat-lekat dengan pandangan benar-benar menyesal. Sebetulnya aku tak marah padanya karena buku itu, tetapi pikiranku benar-benar jenuh.
“ Maya..” panggilnya lagi, kali ini dengan namaku. Ia bangkit dari kursinya dan meraih tanganku. Membuat pipiku memerah perlahan. Sempat berpikir bahwa hatiku akan luluh.
Aku bertekad akan bertahan, aku tak mau pertahananku runtuh sampai di sini saja. Aku mau Arka tahu apa kesalahannya . Namun semakin lama aku bersabar, aku makin muak. Aku bosan karena Arka tak juga mengerti maksudku. Aku pun bangkit dan melangkah menuju kamar, mengambil sesuatu dan tak memperdulikan Arka yang kini menatapku bingung.
Aku sadar, suasana berubah semakin kaku ketika aku kembali beberapa saat kemudian. Aku berusaha menunjukkan wajah setenang mungkin dan kami duduk berhadapan di meja makan dengan tatapan membunuh seakan siap menerkam.
“ Aku minta kamu jelaskan ini sekarang juga !!! “ aku melempar map kertas coklat besar ke hadapannya. Arka tersentak dan berhenti makan. Ia memandangku dengan wajah pucat pasi dan tak melirik map itu sama sekali. Dugaanku benar, Arka memang sudah tahu isi map itu.
“ Aku minta kamu jelaskan ke aku sekarang juga..“ ucapku dingin serentak mengambil pisau. Arka menelan ludah. Aku terus menatapnya dengan marah sampai ia mengambil map itu dengan tangan gemetar dan membukanya.
“ Kamu kenapa ? “ tanyaku kemudian dengan nada merendah. Arka tak menjawab.
“ Aku tanya kamu kenapa.. “ ulangku seperti orang bodoh. Kulemparkan pisau dengan geram ke lantai. Kututupi mukaku dengan kedua tanganku. Perlahan aku terisak. Tubuhku semakin lemas.
Arka masih bungkam. Ia memasukkan kertas itu kembali setelah membacanya sekilas. Setelah sekian lama, Arka masih tak menjawab pertanyaanku. Dadaku semakin bergemuruh, makhluk yang ada di dalamnya seakan meraung murka dan mengamuk. Menggetarkan rusukku. Seiring dengannya, emosiku memuncak dan air mataku semakin deras. Aku terus saja menangis.
“ Maya, aku minta maaf..” Arka meletakkan amplop itu kembali di meja. Aku tak menghiraukannya. Aku hanya duduk tertunduk, masih terisak. Arka bangkit, dan berusaha menyentuhku tapi kutepis tangannya dengan kasar.
“ Aku tidak bisa mempercayai kamu lagi. Tentang hal seberat itu saja kamu berani berbohong, apalagi ucapanmu yang seperti ini. Kamu akan dengan mudah menipuku .. “ aku menudingnya dengan geram. Arka tercekat.
“ Maya, aku benar-benar minta maaf kalau membuat kamu sedemikian benci padaku. Tapi aku benar-benar mencari waktu yang tepat untuk bicara. Aku nggak mungkin membicarakan hal ini sekarang..” jawabnya.
“ Aku bukan wanita yang lemah ! Putraku juga ! “ teriakku. Arka tertunduk. Tak lagi bicara.
“ Kamu pikir aku akan shock jika kamu mengatakan yang sebenarnya secara baik-baik ?! “ aku mendorongnya dengan kasar.
“ Bunda aku minta maaf..” ucapnya kemudian.
“ Aku divonis mengidap kanker otak stadium 3 oleh dokter satu setengah tahun lalu. Waktu itu kita baru saja menikah. Aku tidak mau merusak kebahagiaan kamu..” Arka meraih tanganku. Aku berhenti terisak dan menoleh padanya.
“ Kamu pikir dengan kamu bilang sekarang kamu tidak merusak kebahagiaanku? “ kulepaskan tangannya.
“ Asal kamu tahu, aku lebih senang jika aku tahu hal ini lebih awal, Ka. Aku bisa merawat kamu semampuku dan berbakti kepada kamu. Aku bisa membuat lebih banyak kenangan bersama kamu..”
“ Maya, hidupku nggak lama lagi, “ potong Arka. Ia menatapku lekat. Aku tercekat seketika ia berhenti bicara.
“ Arka..” hanya itu yang kuucapkan. Aku menangislagi, bahkan lebih lama. Rasanya serpihan hatiku turut mengalir keluar bersama air mataku. Hatiku benar-benar hancur.
“ Maya, demi Tuhan aku minta maaf. Kalau kamu tidak bisa menerima keadaanku, aku maklum. Aku hanya tidak mau membuat kamu khawatir dan repot. Terlebih lagi membuat kamu sedih. Kamu boleh minta cerai sekarang juga kalau kamu merasa menyesal..” bisiknya dengan nada lemah. Arkaduduk disampingku tanpa menatapku.
***
“ Bunda ? “Arka memukul meja. Aku terkesiap. Aku melihat sekelilingku. Aku masih berada di ruang makan bersama Arka. Aku bingung, entah apa yang kupikirkan tadi. Aku hanya diam. Tiba-tiba air mataku menitik begitu saja dan aku mulai terisak pelan. Arka segera mendekatiku.
“ Bunda ? Bunda mikirin Arka lagi ? “ Arka menghampiriku. Aku hanya menggeleng sambil terus sesenggukan. Lalu Arka berbalik,
“ Bunda terlalu capek. Lebih baik Bunda istirahat..” Arka membereskan piring dan segera memapahku menuju kamar. Ia membaringkanku di tempat tidur. Lalu Arka berbaring di sampingku.
“ Bunda, Arka tidak akan meninggalkan Bunda. Arka akan selalu ada di samping Bunda. Arka tidak akan pergi..” Arka menggenggam tanganku dengan senyum dan mengetuk-ngetuknya lembut. Perlahan aku berhenti menangis. Aku tertawa geli, dan Arka larut dalam tawaku. Aku membalas genggamannya. Kutatap Arka yang tersenyum sebelum aku menutup mata.
***
Sakit di dadaku makin tak tertahan. Sesak dan begitu menyakitkan. Aku terlentang menengadah melawan langit-langit rumah. Selimut yang kukenakan tak cukup hangat untuk mengusir rasa dingin. Bukan, ini bukan udara dingin. Tapi hatiku yang begitu dinginnya sehingga menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berbalik, menatap Arka. Aku menatapnya begitu lama. Aku ingin memejamkan mata, tapi tak sanggup. Dan beginilah aku, yang setiap malam harus terjaga karena takut Arka akan tertidur tanpa terbangun lagi.
Aku terus saja memandang Arka seperti itu. Jantungku berdebar begitu kencang ketika tanganku yang gemetaran menyentuh pipinya yang dingin.
Aku tahu, Arka telah berusaha sekuat tenaga memperjuangkan hidupnya dan meneruskan jalan hidupnya. Tapi bagaimanapun Tuhan telah memaktubkan takdirnya dan apa yang akan terjadi padanya kemudian. Aku tak bisa terus menerus bersedih menyaksikan keadaannya. Aku menyaksikan bagaimana Arka mengorbankan haknya hidup demi kebaikanku.
Di tangan Arka, hidupku berwarna, dan menakjubkan. Tanpanya hidupku akan suram dan berubah mengerikan. Aku merasa aku masih begitu papa. Sepeninggalnya, hidupku akan begitu berat, aku masih membutuhkannya. Aku telah membayangkan apa yang akan menimpaku sepeninggal Arka. Arka memang tak mengabarkan hal itu, tapi ia menyiratkan dan mengajarkan aku bertahan.
Arka memang telah tak berdaya, dan menyerahkan segalanya kepada sang pemilik hidup. Arka bertahan hidup untuk berjuang. Tubuhnya begitu lelah. Waktu berjalan mengoyak hatinya yang pedih. Setiap saat terasa tersendat-sendat dan membuatku merasa berada di puncak derita.
Namun setiap aku merasa lelah dan bosan, di depan Arka semua perasaan penat itu hancur tak bersisa. Seperti halnya sekarang. Rasa dingin yang menyergapku sirna begitu Arka menyentuh tanganku. Berganti dengan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku dan membuat aku begitu tenang sehingga aku mulai terlelap.
Kurasakan firasat yang begitu jelasnya tentang Arka. Entah firasat apa sehingga aku terjaga di pagi buta. Kusadari Arka tak lagi berada di sampingku. Dengan lutut yang bergetar aku bangkit berdiri. Mengamit jubah hangat yang tersandar di dinding dan aku melangkah perlahan mencarinya.
Aku tak tahu rasa apa yang merasuk dalam diriku saat ini. jantungku berdebar-debar dan intuisiku sekan mengarahkan aku ke taman. di sanalah kutemukan Arka, duduk di tengah hamparan bunga krisan yang bermekaran.
Aku duduk dengan hati-hati karena perutku semakin membesar dan aku harus menjaganya.
“ Kamu bilang tidak akan meninggalkanku..” aku bersandar pada bahu Arka yang lebar namun terlihat ringkih.“ Di sini dingin, lebih baik masuk saja..” sambungku. Arka menggeleng.
“ Di sini indah, lebih baik di luar saja..”Arka tertawa kecil. Aku membalas senyumnya.
“ Lebih baik kamu saja yang masuk, si kecil kedinginan..” Arka mengelus perutku lembut. Aku ganti menggeleng.
“ Bunda, sudah berapa lama kita menikah ? ” tanya Arka tiba-tiba.
“ Baru satu setengah tahun, Arka. Hmm, apa lebih baik kamu aku panggil Ayah saja ? Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah kan ? “ aku berpikir sesaat. Kudengar tawa Arka yang renyah.
“ Meski kamu belum menjadi seorang ibu, aku selalu memanggilmu Bunda kan ? Karena kamu seperti ibu yang selalu merawatku..” Arka mengacak-acak rambutku.
“ Besok ulangtahun pernikahan kita, kan ? “ aku memetik setangkai krisan dan memainkannya. Kutoleh Arka berbaring di rerumputan. Lalu aku berpikir sesaat.
“ Aku ingin memberikanmu sebuah hadiah..” katanya. Arka mengangkat alis.
“ Anak ini adalah hadiah terindah dalam hidupku. Dan hadiah yang sangat indah dan istimewa bagiku adalah kamu..” Arka tersenyum.
“ Maya..” katanya kemudian.
“ Sebenarnya kamu tak perlu memberikanku hadiah, karena aku akan pergi sebentar lagi..” Arkamenengadah ke langit. Aku menghela nafas.
“ Aku tahu. Maka dari itu aku akan memberikanmu hadiah..” kataku ngotot. Arka bangkit.
“ Kalau begitu aku juga akan memberikanmu sebuah hadiah..” Arka menatapku semangat. Aku tertawa.
“ Terserah kamu..” lalu Arka mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.
“ Buat kamu.. “ Arka tersenyum lebar. Dengan mata membulat kutatap buku bersampul serat kayu itu dibalut pita putih yang indah. Kusambut buku itu dengan mata berkaca-kaca dan tangis bahagia.
“ Terima kasih..” ucapku terbata sambil memeluk buku itu erat.
“ Maya..” panggilnya lagi. Diletakkannya krisan itu dipangkuanku. “ Arkamaya itu berarti kamu, cahayaku..” tersungging secercah senyum di wajah Arka.
“ Sekarang aku akan meminta hadiahku..” ujarnya.
“ Apa ? “ tanyaku. Sebelum aku bertanya lebih lanjut, Arka membaringkan tubuhnya dan meringkuk di pangkuanku.
“ Maya..” Arka meraih tanganku dan menempelkannya di pipinya.
“ Apa aku pernah berbuat jahat pada kamu ? “ tanya Arka kemudian. Aku tak segera menjawab, bingung. Namun kemudian aku menggeleng mantap.
“ Apa aku pernah membuat hati kamu kesal ? Dan jika pernah apakah kamu telah memaafkan aku ? “ tanya Arka lagi. Aku mengangguk. Lalu tak kuduga Arka menangis.
“ Maya, Ibundaku, istriku, terimakasih untuk semua yang telah kamu lakukan untukku..” ucap Arka begitu tenang. Ia tersenyum seperti sediakala sebelum terlihat benar-benar sakit. Lalu Arka tertidur dengan sangat tenang dan tak bersuara. Lalu angin menghembuskan helai-helai krisan ke pangkuanku. Aku memeluk Arka dengan senyum lega dan perasaan bahagia tak terkira karena telah dapat memberikan apa yang bisa aku berikan padanya.
“ Arka..” kataku.
“ Terima kasih..” aku memeluknya sesaat lalu melepaskannya. Arka tersenyum manis. Kusentuh wajahnya dengan lembut.
“ Arka ? “ panggilku. Arka tak menjawab. Kupikir ia tertidur.
“ Arka ? “ panggilku lagi. Tak ada sahutan.
“ Arka..” kataku terbata. Wajah Arka begitu tenang dan ia telah menemukan kedamaian abadi di dunianya sekarang. Aku melihat langit. Sinar matahari datang dan menyinari bunga krisan. Udara pagi yang segar menyejukkan jiwaku.
Aku tersenyum. Tak akan kubiarkan air mataku menetes lagi. Akan kukuatkan batinku.
“ Selamat tinggal..” kukecup keningnya dan kuusap pipinya. Kupeluk ia di tengah hening subuh. Dan aku memejamkan mata di sampingnya, mengenang semua yang telah kami jalani berdua di waktu yang singkat ini.
***
“ Bunda sudah baikan ? “ Arka duduk di sampingku begitu aku membuka mata. Sinar matahari pagi serta perasaan yang membaik mebuatku segar. Aku menyadari bahwa aku terlelap di taman. Masih sedikit linglung aku mengangguk. Aku mencoba bangun. Arka membantuku.
“ Bunda masih agak pucat. Lebih baik Bunda istirahat saja..” Arka mendudukkanku di tempat tidur.
“ Kemarin Bunda aneh. Bunda banyak melamun. Waktu Arka ajak makan, Bunda tidak mau makan dan hanya diam. Waktu Arka bawa Bunda ke kamar dan Arka tunggu Bunda tidur, Bunda malah pergi ke taman dan duduk sambil memegang buku puisi itu lagi. Bunda, Arka sayang sama Bunda. Arka tidak mau Bunda begitu terus..” ujar Arka.
“ Aku tidak apa-apa. Aku hanya rindu pada Arka yang dulu..” jawabku pelan. Arka memelukku, membenamkannya dalam dadanya dan kudengar detak jantung Arka. Sama persis seperti Arkaku yang dulu..
“ Besok adalah hari peringatan pernikahan bunda yang keduapuluh tahun kan ? “ tanya Arka. Aku mengangguk. Arka membaringkanku dan membenahi selimutku. Tapi aku sama sekali tak mengantuk.
“ Bunda lebih baik istirahat saja. Arka janji. Besok Arka antar Bunda ke makam ayah..” lanjutnya. Aku tersenyum.
“ Terima kasih, aku memang sangat merindukan Arka, ayahmu. Dan aku ingin segera menemuinya..” kuusap pipi Arka, putraku dan menghenyakkan diri di ranjang yang hangat dan tertidur kembali di pagi yang dingin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H