COVID-19 merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan (World Health Organization, 2020). Wabah COVID-19 ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menjadi sebuah pandemi global. Banyak negara yang mengeluarkan kebijakan baru demi menekan angka penyebaran COVID-19 tersebut, salah satunya Amerika Serikat (AS). AS merupakan negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Penduduk AS sendiri bersifat multietnik dan paling multikultural di dunia yang disebabkan oleh banyaknya imigran yang berdatangan ke AS.
Laporan International Migration 2019 mencatat bahwa AS ditetapkan sebagai negara dengan penduduk imigran internasional terbanyak di dunia dengan jumlah imigran sebanyak 51 juta jiwa di mana jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 16 juta jiwa sejak tahun 2000 (United Nations: Department of Economic and Social Affairs, 2019). Banyaknya jumlah imigran yang berdatangan membuat AS mengeluarkan berbagai macam kebijakan demi mengatur arus kedatangan imigran dan menjaga kondisi dalam negeri AS agar tidak terganggu dengan kedatangan para imigran tersebut. Salah satu kebijakan yang diambil oleh AS mengenai imigran adalah kebijakan dalam menangani imigran yang diambil oleh Presiden AS, Donald Trump pada masa pandemi COVID-19.
Dalam melihat kebijakan yang diambil oleh AS dalam menangani imigran pada masa pandemi COVID-19, penulis menggunakan teori sekuritisasi untuk menganalisisnya. Sekuritisasi merupakan salah satu pemikiran yang khas dari Copenhagen School dan mempunyai pembahasan yang berbeda dari konsep keamanan tradisional. Sekuritisasi merujuk pada sikap aktor politik untuk menjustifikasi pengambilan langkah darurat (emergency measures) dengan meyakinkan masyarakat bahwa isu yang dihadapi merupakan suatu isu yang dapat menjadi ancaman (existensial threat) bagi negara ataupun masyarakat di dalam negara tersebut (Buzan, Waever, & Wilde, 1988). Konsep keamanan yang dibangun oleh Copenhagen School ini berada di antara keamanan tradisional yang cenderung state-centrism dan keamanan kritis yang memiliki fokus pada individu atau global security. Copenhagen School memusatkan pembahasan mengenai keamanan kepada permasalahan societal security atau keamanan masyarakat di mana referent object-nya merujuk pada negara serta masyarakat.
Pada 22 April 2020, Presiden Donald Trump menandatangani sebuah perintah eksekutif untuk sementara waktu menangguhkan persetujuan permohonan green card atau kartu hijau. Hal tersebut dilakukan oleh Trump sebagai bentuk kebijakan untuk membatasi kedatangan para imigran selama masa pandemi COVID-19. Trump mengatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi lapangan pekerjaan para pekerja di AS yang selama masa pandemi ini mengalami keterpurukan dalam hal ekonomi (Alvarez, 2020). Trump berusaha untuk memastikan bahwa orang-orang di AS yang menjadi pengangguran dari semua latar belakang akan menjadi orang-orang pertama yang mendapatkan pekerjaan pada saat perekonomian di AS sudah kembali pulih. Perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Trump ini akan berlangsung selama 60 hari dan dapat diperpanjang jika diperlukan.
Langkah yang diambil oleh AS ini diperkirakan akan menghentikan praktik pemegang kartu hijau yang menjadi sponsor bagi keluarga mereka untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di AS atau yang biasa disebut oleh Trump sebagai migrasi berantai (BBC News, 2020). Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi pasangan warga negara AS dan anak-anak yang masih di bawah usia 21 tahun. Selain itu, perintah eksekutif ini juga tidak berlaku bagi ratusan ribu pelamar kartu hijau yang sudah tinggal dan bekerja di AS serta bagi mereka yang berusaha masuk ke AS untuk bekerja sebagai dokter, perawat atau orang-orang profesional di bidang kesehatan. Pengecualian yang lain adalah bagi mereka pemegang visa H-1B yang umumnya adalah para pekerja di bidang pertanian dan pekerja terampil yang dinilai tidak akan menggantikan posisi pekerja yang ada di AS.
Sebelum menandatangani perintah eksekutif guna menangguhkan permohonan kartu hijau dalam sementara waktu, Trump telah lebih dulu mengeluarkan kebijakan untuk mendeportasi para imigran yang diduga terinfeksi virus corona agar mereka kembali ke negara masing-masing. Hal tersebut membuat pemerintah di Meksiko, Amerika Tengah dan Karibia berusaha memberikan respon atas kebijakan yang dikeluarkan oleh AS (Sleff & Miroff, 2020). Pejabat negara bagian Tamaulipas, Meksiko melaporkan bahwa mereka menerima 100 orang yang dideportasi setiap harinya dan beberapa diantaranya sudah dalam keadaan sakit. Kementerian Kesehatan Guatemala mengatakan bahwa sekitar tiga perempat penumpang dalam penerbangan deportasi dari AS ke Guatemala City telah terinfeksi virus corona. Pemerintah Haiti melaporkan bahwa tiga orang yang dideportasi dari AS untuk kembali ke Haiti telah terinfeksi virus corona dan Trump masih merencanakan beberapa penerbangan selanjutnya untuk memulangkan para imigran yang diduga telah terjangkit virus corona ke negara asal mereka masing-masing. Pengembalian para imigran ke negara asal mereka membuat pemerintah negara asal imigran tersebut kesulitan untuk menangani kedatangan imigran yang dideportasi.
Dalam melihat kebijakan yang diambil oleh Trump ini, para kritikus menilai bahwa Trump menggunakan pandemi COVID-19 sebagai senjatanya untuk mengurangi para imigran legal maupun ilegal yang berusaha memasuki AS. Hal ini sejalan dengan salah satu janji kampanye Trump yang berusaha untuk memfokuskan pemerintahannya pada permasalahan jumlah kedatangan imigran yang sangat banyak ke AS. Selain itu, menurut para kritikus, langkah yang diambil Trump untuk membatasi persoalan imigrasi kemungkinan akan memicu tantangan hukum (Hesson, Holland, & Mason, 2020).
Penulis menilai bahwa kebijakan yang diambil oleh Trump dalam membatasi imigran yang berusaha memasuki AS selama masa pandemi COVID-19 sebagai bentuk sekuritisasi yang dilakukan oleh Trump untuk menjaga kondisi perekonomian dalam negerinya. Kedatangan para imigran ke AS pada masa pandemi COVID-19 dikhawatirkan akan mengganggu ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga negara AS apabila kondisi perekonomian AS nantinya telah dibuka kembali setelah masa pandemi berakhir. Selain itu, dengan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah AS, hal tersebut juga akan berusaha menekan angka penyebaran COVID-19 di AS, terlebih AS merupakan salah satu negara yang mempunyai kasus COVID-19 terbanyak di dunia. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa kebijakan tersebut memang memiliki keterkaitan dengan janji kampanye Trump yang berusaha menekan angka kedatangan imigran ke AS.
REFERENSI
Alvarez, P. (2020, April 23). What Trump's New Executive Order on Immigration Covers. Retrieved June 5, 2020, from https://edition.cnn.com/2020/04/22/politics/immigration-executive-order-trump/index.html