Mohon tunggu...
Chatarina Komala
Chatarina Komala Mohon Tunggu... Tenaga Lepas -

“We write to taste life twice, in the moment and in retrospect.” ― Anaïs Nin

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hipotesa

10 Februari 2011   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hey..sapaku pendek. Aku tahu bahwa kamu tentu tidak akan pernah mendengar sapaan ini. Sapaan yang sedang kukirim melalui isyarat, sapaan yang harusnya bisa kamu dengar saat ini, lewat hati.

Dengarkah kamu ? Aku yakin kamu tentu bisa mendengar suara itu. Kamu hanya belum bisa. Kamu perlu membuka hati. Kamu hanya perlu melebarkan pendengaranmu. Indera pendengaran tak kasat mata, yang selalu aku sebut itu sebagai firasat.

Kamu tahu ? beberapa kali aku menduga, beberapa kali aku mulai berekspetasi. Aku mulai yakin bahwa kita memang terunut dalam satu aliran darah yang sama, dalam satu nafas yang sama, dan mungkin dalam satu garisan hidup yang sama. Atau mungkin, kita memang berasal dari satu orang, yang mungkin karena proses reinkarnasinya tidak sempurna, berubah menjadi dua bentuk dan usia berbeda, yang sebenarnya hanyalah satu tubuh yang sudah dibuat lupa. Sehingga tidak dapat saling mengingat bahwa di kehidupan sebelumnya, kamu dan aku adalah satu. Entahlah, semuanya tampak begitu kompleks. Dan sebagai makhluk yang hidup di dalam sebuah realitas, tentunya aku hanya bisa menduga – duga.

Dan mungkin, ikatan itu sudah terlepas bebarengan dengan reinkarnasi kita yang tidak sempurna. Menjadikan kita makhluk yang sama, tetapi tetap tidak bisa menyatu. Menjadikan kita makhluk yang sebenarnya sudah saling memahami, tetapi terhalang tembok batu besar dan jarak yang mendadak terlampau jauh, padahal sebenarnya berdekatan. Mungkin itulah yang dapat menjelaskan keanehan yang sekarang terjadi antara kita. Bisakah kamu menyadari itu ? betapa anehnya hubungan ini, mengingat terlampau banyak kesamaan yang menggarisbawahi kita, berdiam dalam diri kita, tapi entah mengapa, justru itu yang akhirnya memisahkan kita.

Fisik, perasaan, amarah, kebahagiaan, persepsi, nafas, darah, nadi, lingkungan, sikap, sifat, tangis, suka, benci. Kita sama.

Aku bisa merasakan perasaanmu. Aku bisa merasakan amarahmu, kesedihanmu, lukamu, letihmu, senangmu, sukamu. Aku bisa merasakan semua yang tidak bisa orang lain rasakan, aku bisa mengecap dan melihat dirimu yang tidak bisa orang lain kecap dan lihat. Dan aku yakin begitupun denganmu. Tapi mengapa kita tetap tidak dapat menyatu ?

Bukankah kesamaan justru malah akan menyatukan setiap orang ?

Dan itu membuatku sedikit berhipotesa yang kian lama terdengar sebagai ucapan sok tahu. Aku tidak peduli. Aku cuma peduli kepada instingku. Dan bukankah bahasa firasat adalah bahasa yang tidak pernah bohong ? Oleh karena itu aku mulai menduga, ada sesuatu yang aneh disini. Seperti dugaanku beberapa jam lalu. Kukira bumi memang sudah tidak lagi berbentuk bulat, mungkin karena gempa bumi yang terjadi atau karena isu pemanasan global yang kian marak diperbincangkan, bumi kini tidak lagi berbentuk bulat, melainkan sembarang, tak beraturan, atau mungkin berjendol dan menimbulkan banyak cekungan berbentuk ceruk disana – sini. Entahlah, sampai saat ini ekspetasiku belum kubuktikan.

Dan kini, keanehan mulai muncul pada kita. Aku masih belum tahu, apakah kamu tentu terima dengan sebutan ‘kita’ yang melekat antara kamu dan aku. Aku masih belum tahu. Terlampau banyak keanehan yang menimpa hubungan ini, yang membuatku merasa, entah apa. Aku bingung.

Aku bingung karena tidak sanggup mengartikan diam-mu sehabis kita berdebat panjang. Aku bingung karena tidak mampu menerima kemarahanmu ketika aku mencoba bicara. Aku bingung karena tidak bisa membuatmu tampak seperti yang seharusnya. Aku bingung karena kita tidak bisa menjadi aku yang seharusnya, dan kamu yang seharusnya ketika kita berhadapan.

Aku masih dalam tahap bingung. Menerka-nerka. Dan aku benci karena aku bahkan tidak bisa mengerti sesuatu hal yang sebenarnya dapat ku mengerti.

Harus diakui, bahwa pada kenyataannya hubungan ini terlalu susah, dan mengerti saja belum cukup untukku.

Belum cukup, Ayah.

Bukankah kesamaan justru malah akan menyatukan setiap orang ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun