Rating:Â 4.0/5.0
Â
Blurb:
Senandung Rinai, seorang anak hasil perkosaan lima belas tahun yang lalu, terpaksa tumbuh tanpa mengenal cinta dan kasih sayang. Ia besar tanpa mengenal musim, yang ia tahu hanya air mata. Gadis malang ini mahir menenggelamkan kesedihan dalam bahasa paling rahasia.
Entah apa yang ada di pikiran Sabai Rangkuti ketika ia dengan sengaja mengabaikan keberadaan buah hatinya dan mencoba mengelabui seisi dunia dengan tidak mengakui serta menerima keberadaan Rinai.Â
Bagi Rinai, laju waktu hanyalah gerimis yang kerap menjelma lebat dalam satu tarikan napas hingga tak mampu hadirkan indahnya lengkung bulan sabit pada muram wajahnya. Pertarungan di dadanya terlalu sengit, sementara bising di kepala kian menggigit.
Hingga Syamsu, seseorang dari masa lalu Sabai kembali hadir dan mengubah semua suratan takdir dengan mengadang badai lain sekuat yang ia bisa, demi menebus dosa masa lalunya.
Apakah hubungan ibu dan anak ini bisa saling mendamba seperti seharusnya? Apakah suratan takdir akan menyuguhkan lembaran baru yang mampu menyatukan hati mereka?
Â
"Namun, aku sadar. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan diri sendiri."
Pertemuan saya dengan naskah ini dimulai dari pertemanan dengan sang penulis, Aluna Aksara. Setelah pernah menyunting novelnya yang berjudul Dari Rindu kepada Kenang, Aluna kembali memberi kepercayaan untuk menangani novel Gerimis di Mata Rinai ini, yang mana ide ceritanya bisa dibilang unik, nyata, dan cukup sensitif. Namun yang selalu lekat dan menjadi ciri khas Aluna tak pernah hilang: kehadiran puisi-puisi cantik yang menambah penghayatan pada cerita.