[caption id="attachment_411185" align="aligncenter" width="471" caption="liputan6.com"][/caption]
Saya baru menyadari bahwa memang benar UU Anti Terorisme yang berlaku saat ini kurang bertaji dalam menanggulangi aksi radikalisme secara hukum. Apalagi jika terkait dengan upaya penanggulangan ancaman ISIS, payung hukum yang berlaku di negeri ini tidak tegas menindaknya.
Salah satu contoh melempemnya hukum Indonesia dalam menindak propaganda ISIS adalah ketika terjadi kasus penangkapan 12 WNI oleh pihak keamanan Malaysia pada bulan Desember lalu. Kedua belas WNI tersebut ditangkap karena ketahuan akan pergi menuju Suriah dengan kondisi dokumen yang tidak lengkap.
Setelah dipulangkan ke Indonesia, 12 WNI tersebut diperiksa oleh Densus 88 Anti Terror, di mana kemudian menyatakan mereka bebas dari tuduhan pidana, kecuali satu orang yang bernama Muhammad Shibghotulloh. Diketahui bahwa Shibghotulloh merupakan mantan napi kasus perampokan sekaligus teror di Bank CIMB Medan pada 2011 lalu.
Saat penangkapan, Shibghotulloh diketahui baru bebas dari tahanan. Adapun ketika kemudian ia ditahan kembali, itu pun bukan karena kaitannya sebagai simpatisan ISIS. Shibghotulloh ditahan karena melanggar UU Anti Terorisme yang terkait aksi teror yang dilakukannya pada tahun 2011 silam. Selain itu, ia pun dikenai tuduhan pidana pemalsuan dokumen. Anehnya, kasus dugaan dirinya memiliki kaitan dengan sepak terjang ISIS justru tidak disinggung.
Padahal, menurut saya, jika dibuatkan payung hukum yang jelas dalam menindak mereka-mereka uang berbai'at dengan ISIS, maka upaya penanggulangannya pun akan berjalan lebih efektif. Dengan pemberlakuan hukum yang efektif, maka bukan tidak mungkin akan mendorong munculnya efek jera sehingga masyarakat pun menjadi lebih waspada karenanya. Dalam kondisi yang waspada, maka masyarakat pun akan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya dalam memilah mana paham yang baik, dan mana paham yang benar. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan efektifitas deradikalisasi terorisme di Indonesia.
”Makanya harus segera dibuat payung hukum baru. Baik itu berupa Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) ataupun kita harus mempercepat revisi UU Antiterorisme. Kalau tidak ya kondisi begini ini, seperti adanya 16 WNI yang ditangkap di Turki dan 16 WNI lain masih menghilang di sana, ya akan terus berlanjut,” beber Badrodin.
Namun, bagaimana dengan mereka yang merekrut dan membiayai WNI untuk gabung dengan ISIS? Menurut berita yang saya baca, jika yang dibiayai dan direkrut tersebut bertujuan untuk melakukan aksi terorisme, maka dapat dipidanakan. Akan tetapi, jika yang direkrut dan dibiayai terbukti murni atas faktor ekonomi (misalkan), mereka yang bersangkutan tidak dapat diproses secara hukum yang berlaku saat ini.
Mengingat cukup kompleksnya ancaman teror ISIS, maka diperlukan kejelasan hukum yang mendetail dalam menindak aksi-aksi terkait. UU Anti Terorisme yang berlaku saat ini, dapat dikatakan, masih mengurusi sifat yang umum, sehingga riskan terjadi tumpang tindih pemberlakuan hukum pidana. Logikanya, jika payung hukum dalam menanggulangi terorisme saja belum jelas, bagaimana kita mampu meningkatkan ketahanan hukum kita terhadap ancaman bahayanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H