Dalam dunia demokrasi, kebebasan berekspresinya dilindungi. Seseorang bisa mengungkapkan apa saja yang menjadi angannya atau opininya. Hanya saja dalam kebebasan itu, ada batasnya, yaitu hak orang lain.
Di Indonesia, demokrasi sudah berkembang dengan demikian baik. Mulai dari kebebasan berpendapat tertuang dalam banyaknya media massa dan kebebasan berekspresi dalam media sosial. Kita bisa melihat ungkapan-ungkapan yang wajar sampai kebablasan dalam pemilu 2014- 2024 dimana banyak sekali narasi-narasi politik beredar di media sosial.
Dan ada satu tantangan dalam berdemokrasi adalah soal kebebasan agama. Hakekatnya setiap warga negara dijamin kebebasan beragamanya oleh konstitusi. Juga mendirikan rumah ibadah, meski ada beberapa agama pendirian rumah ibadah berdasar SKB 2 menteri. Namun mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama dilindungi penuh oleh konstitusi.
Kita bisa melihat banyak sekakli pondok pesantren yang berdiri di seluruh negeri ini. Begitu juga dengan lembaga pendidikan berbasis Kristen Protestan atau Kristen Katolik ada di beberapa kota dan provinsi di Indonesia. Namun seperti yang saya ungkapkan di atas , ada tantangan soal pendirian lembaga pendidikan berbasis agama.
Contoh yang paling baru adalah penolakan pendirian sekolah Kristen di pare-pare. Alasan penolakan itu adalah izin yang tidak lengkap. Namun setelah ditelusuri, tidak ada masalah dengan perizinan karena sang pemohon sudah melengkapi syarakat peisinan dan membuat sosialisasi. Namun saat pemilik lahan ingin memulai Pembangunan, dihalang-halangi dengan alasan di atas.
Demokrasi memang berarti kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun seperti saya sampaikan di atas adalah batas kebebasan itu adalah hak orang lain. Kita bisa berkebaeratan dengan pendirian Gedung sekolah berbasis agama, namun orang lain juga berhak mendirikan gedung sekolah itu karena mereka punya izin yang lengkap.
Menolak pembangunan sekolah hanya karena alasan primordial bisa menghambat perkembangan hak-hak individu serta semangat Bhinneka Tunggal Ika yang mendasari keberagaman di Indonesia. Inilah yang sering menjangkiti umat beragama termasuk yang radikal dan intoleran. Mereka masih gagap mengadaptasi ekspresi religious ke dalam media baru sehingga menjadi mudah mengolok-olok umat beragama lain di banyak kesempatan.
Lebih jauh lagi, mengintegrasikan pemahaman pluralitas melalui sektor formal dapat membantu meredakan isu klasik yang mengakar, yaitu ketegangan antara kebebasan berekspresi di platform digital dan sensitivitas terhadap agama. Kebebasan berekspresi adalah hak, tetapi harus diimbangi dengan tanggung jawab menjaga bangsa dari konflik horizontal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H