Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajarlah dari Sejarah

15 Agustus 2024   21:39 Diperbarui: 15 Agustus 2024   21:43 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah perang dingin antara Uni sovyet dan Amerika Serikat (AS) usai, secara mengejutkan banyak sekali negara-negara yang pecah. Uni Sovyet sebagai negara terbesar di Asia, akhirnya pecah menjadi sekitar 15 negara seperti Rusia, Ukraina, Belarus, Moldova, Estonia, Latvia, Lituania, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Turkmenistan.

Begitu juga dengan Cekoslowakia, pecah menjadi dua negara merdeka yaitu Slovakia dan republik Ceko. Jangan dilupakan Yugoslavia yang pecah menjadi Slovenia, Kroasia, Serbia (termasuk wilayah Kosovo dan Vojvodina, Makedonia, Bosnia dan Hersegovina dan Montenegro.  Selain itu ada juga beberapa negara lainnya.

Sebagian besar dari negara itu sepakat berpisah karena Sosiologis; yaitu etnis yang berbeda merasa tidak nyaman bergabung. Sehingga mereka memisahkan diri. Meski di kawasan yang sama, namun secara etnis berbeda, secara psikologis mereka tidak merasa ada kesamaan pandangan atau ikatan emosional. Karena itu mereka cenderung berpisah.

Berbeda dengan Indonesia yang punya banyak perbedaan sosiologis, yaitu puluhan etnis, ratusan bahasa lokal, banyaknya aliran kepercayaan dan agama yang berbekembang di Nusantara (Indoensia), namun itu bukan halangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Persoalannya adalah kolonialisme di Nusantara amat kental dan membuat penduduk di banyak wilayah Nusantara menderita. 

Kita mengingat perang Jawa yang di pelopori oleh Pangeran Diponegoro yang membuat kolonial Belanda harus mengeluarkan banyak biaya untuk ongkos perang. Belum lagi pertempuran dahsyat di Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Itu semua muncul didasari oleh persamaan psikologis yaitu keengganan kita untuk kembali dijajah.

Keesamaan rasa itu secara psikologis kuat untuk mewujudkan dan mempertahankan Indonesia. Di saat-saat awal kita mendapat perlawanan dari Belanda dan beberapa negara, namun tekad kita tetap untuk merdeka. Beberapa pertemuan yang difasilitasi oleh PBB harus kita lampaui hanya untuk pengakuan sebagai negara berdaulat.

Kini kita sudah 78 tahun merdeka. Dan banyak sekali tantangan yang harus kita hadapi termasuk keinginan untuk mengganti filosofi negara dari Pandacila ke syariat Islam. Saya pikir pihak-pihak yang mengusulkan itu sesekali harus  membaca sejarah lagi  Ikatan emosional dan psikologis itu secara konkret dapat dipahami sebagai perasaan saling memiliki satu sama lain dan itu bernama bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun