Indikasi kampus dekat dengan faham radikal di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Penelitian beberapa lembaga bisa dilihat lagi sebagai rujukan bagaimana bahaya ini terus mengintip. Mula-mula memang skala kecil berupa intoleransi, namun beberapa lama kemudian ajaran dan nilai-nilai radikalisme ditanamkan oleh senior kepada mahasiswa baru. Setelah beberapa lama kemudian akan muncul pribadi yang cenderung berfikiran radikal bahkan sebagian memilih mejadi teroris.
Nilai-nilai radikalisme ini ditanamkan oleh senior kepada mahasiswa baru terutama saat mereka masuk ke beberapa ekstra kulikuler kampus. Beberapa bidang ekskul memang diindikasikan dekat dengan konsep radikal. Ini juga banyak diulas oleh media berdasar beberapa penelitian.
Contoh paling nyata di sini adalah pelaku bom bunuh diri atas tiga gereja di Surabaya, yaitu Dita Supriyanto (ayah), Puji Kuswati (ibu) dan anak-anak mereka yaitu Fadila Sari (12) Pamela Riskika (9) , Yusuf Fadil (18) dan Firman Halim (16). Mereka berpencar dalam melakukan bom bunuh diri itu yaitu sang ayah  meledakkan bom di dalam mobil yang diparkir di Gereja Pantekosta jl Arjuno pada Minggu (13/5/2018) pk 07.53. Ibu dengan dua orang anak perempuan, sebelumnya juga meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI) jl Diponegoro pada pk 07.15. Dia melilitkan bom di perutnya.
45 menit sebelumnya, bom juga meledak di Gereja Katorlik Santa Maria Tak Bercela di jl Ngagel. Bom itu dibawa dan diledakkan oleh dua orang anak lelaki Dita yaitu Fadil dan Halim dengan  memangkunya di atas motor mereka. Total korban tewas adalah 14 orang, enam diantaranya adalah pelaku bom bunuh diri.
Kemudian diketahui bahwa keluarga Dita punya riwayat pergi ke Suriah sebelum ISIS ambruk dan kalah. Mereka adalah enam orang diantara 1100 orang Indonesia ke Suriah. Tapi kemudian keluarga ini kembali ke Indonesia bersama 500 orang lainnya.
Beberapa teman Dita yang merupakan alumni sebuah universitas di Surabaya memberi beberapa kisah bahwa saat mahasiswa, Dita memang aktivis sebuah ekskul  yang diketahui bahwa mereka juga memberikan nilai-nilai intoleran dan radikal kepada para yunior yang baru masuk. Dua nilai ini kemudian matang dalam diri Dita selama beberapa puluh tahun  dan akhirnya membawa keluarganya masuk dalam ajaran radikal sampai bom yang meledak pada Minggu pagi, tiga tahun itu.
Pada saat itu analisa bahwa Dita terpapar radikalisme ketika belajar di Universitas itu dibantah oleh pejabat universitas terkenal di Jawa Timur itu namun indikasi bahwa beberapa kampus memang terindikasi dekat dengan faham radikal sangat kuat.
Tiga tahun berlalu, dan isu itu memang kian dilupakan orang. Namun beberapa hari lalu, ingatan tentang keterkaitan kampus dengan radikal bahkan terorisme kembali menyeruak dengan ditangkapnya seorang mahasiswa di sebuah universitas di Malang Jawa Timur oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
Mahasiswa yang berumur 22 tahun ini dikenal sebagai mahasiswa pintar dari jurusan Hubungan Internasional- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).Dia ditangkap di sebuah kos-kosan  di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Aparat mengatakan bahwa mahasiswa itu diduga menjadi simpatisan ISIS dengan menyebar propaganda ISIS di media sosial dan mengumpulkan dana untuk membantu ISIS di Indonesia.
Dari dua peristiwa yang tampaknya tidak terkait atau jauh keterkaitannya, kita bisa menyimpulkan bahwa fenomena keterkaitan kampus dan radikalisme memang memungkinkan terjadi. Namun terpenting adalah adanya kontrol  terhadap faham ini oleh kampus. Universitas di Malang itu kemudian berkomitmen untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan Pancasila pada mahasiswanya.