Beberapa waktu ini dunia dikejutkan oleh kemenangan Taliban di Afghanistan. Pada 15 Agustus mereka sah menggantikan pemerintah lama yang menurut banyak orang merupakan kaki tangan Amerika Serikat (AS).
Ya, sejak organisasi Islam internasional yang bernama al-Qaeda mengklaim bahwa mereka bertanggung jawab atas keruntuhan dua menara kembar WTC di New York, 11 September 2001 silam, pimpinan organisasi Osama bin Laden adalah orang nomor 1 dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) AS.
Dan setelah Osama berhasil diburu dan dibunuh di Pakistan, dunia berharap memperkecil peran al-Qaeda dalam kekerasan di dunia. Selesai sampai di sini? Ternyata tidak. Faham yang ingin menghadirkan zaman keemasan Islam dan kemudian ingin menghadirkan itu pada zaman sekarang punya seribu wajah.
Mereka punya banyak cara dan tujuan untuk mewujudkannya. Selain al-Qaeda yang beroperasi di wilayah Pakistan dan Afghanistan - kita singgung di atas, ada Taliban yang diketahui sangat konservatif ( bahkan beberapa media menyebut sebagai penganut Islam fundamentalis) dalam hal agama dan menolak mentah-mentah budaya barat dan sejenisnya. Mereka menganut syar'iat Islam dengan kuat, menolak pendidikan bagi wanita dan cenderung diskriminatif.
Tidak seperti alQaeda yang berjuang demi syariat dengan skup internasional, artinya menegakkan dan memperjuangkan syariah Islam di dunia, perjuangan Taliban berfokus pada kelompoknya sendiri. Sebagian besar Taliban dianut oleh warga masyarakat bersuku Pashtun yang memang menjadi mayoritas suku di Afganistan (2/5 dari warga).
Kepedulian terhadap diri dan kelompoknya, tercermin saat Taliban berjuang merebut tampuk kepemimpinan Afganistan pada tahun 1996-2001. Keberadaan Taliban dan suku Pasthun nya, membuat suku-suku lain di Afganistan seperti Tajik , Hazara, Nuristani, Uzbek, dan Turkmen, yang berbeda pandangan dengan Taliban merasa terancam.
Hazara misalnya. Suku kecil yang berbentuk moyang dari Mongol ini adalah penganut Syi'ah - kelompok Islam yang berbeda dengan Taliban yang Islam Sunni. Hazara dan beberapa suku lain menjadi target intimidasi dan serangan fisik orang Taliban. Rumah-rumah mereka diserang sehingga non Taliban ini tidak nyaman dan memilih pergi dari Afganistan agar nyawa keluarga mereka terselamatkan.
Sebagian besar mereka mengungsi ke Pakistan, Australia dan beberapa negara yang mau menampung mereka. Jika kita mungkin ke daerah Kalideres , tepatnya di Rumah Detensi Imigrasi kita akan bertemu dengan para pengungsi Afganistan non Taliban yang ingin tinggal ke Australia atau negara yang mau menampung mereka. Indonesia sejak lama menjadi wilayah transit bagi mereka. Pengungsi inilah yang menjadi musuh Taliban dan nyawanya terancam hanya karena perbedaan etnis, meski mereka sama-sama beragama Islam
Kondisi ini agak berbeda dengan Indonesia yang kaya akan etnis dan agama, namun selalu berupaya untuk harmoni dan bersatu. Kita punya sekitar 130 suku dan ratusan bahasa daerah yang berbeda, namun tidak pernah menganggap satu suku lebih jago dibanding suku lainnya. Â
Sebaliknya kita selalu mengusahakan kita tetap bersatu dan saling memperkuat di atas perbedaan dan lokalitas yang ada.