Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesetiakawanan Sosial dan Perpecahan di Antara Kita

7 Desember 2017   08:04 Diperbarui: 7 Desember 2017   08:30 1963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Gunung Agung mulai menampakkan tanda-tanda akan meletus, kita melihat melalui media banyak warga Bali yang membantu warga sekitar Gunung Agung. Banyak diantara mereka yang menyediakan tempat berteduh, tempat untuk sapi dan hewan ternak mereka. 

Sekolah-sekolah juga begitu; mereka menampung anak-anak sekolah dari area terdampak. Tidak hanya daerah di sekitar kabupaten Karangasem saja, tetapi juga kabupaten Badung, Jembrana dan Denpasar yang relatif jauh dari Gunung Agung.

Mereka membantu tanpa banyak syarat. Mereka paham apa yang dirasakan oleh para warga terdampak yaitu kesedihan Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan para korban. Meninggalkan rumah, sekolah, terpisah dengan ternak piaraan dan sawah atau kebun yang selama ini mereka rawat  adalah sesuatu yang berat. Karena itu mereka merasa empathy. Sikap seperti ini disebut sebagai menyama braya (merasakan sebagai saudara) atau istilah bekennya kesetiakawanan sosial.

Konsep menyama braya atau kesetiakawanan sosial sebenarnya adalah solusi memecahkan setiap permasalahan yang timbul di masyarakat. Konsep ini sebenarnya bertumpu pada keharmonisan hidup ; rukun antar sesama warga negara dengan segala perbedaan yang menyertainya. Menyama braya atau kesetiakawanan sosial adalah tonggak-tonggak persatuan yang di dalamnya berisi ikatan-ikatan kebersamaan dengan dilandasi rasa saling memahami, memiliki serta semangat kebersamaan sebagai warga Indonesia.

Konsep kesetiakawanan sosial harus dipandang luas dan tidak semata hanya terkait satu suku atau satu agama saja. Juga melibatkan suku Jawa, Minang, Aceh, Bali, Makassar, Toraja, Bajo, Sasak bahkan Papua. Selain itu juga menjadi benang merah bagi agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu,Budha, Kong Hu Chu bahkan aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini harus dilihat sebagai bagian dari proses rasa persaudaraan secara luas, mendasar dan penting; baik sebagai sesama manusia maupun sebagai warga negara Indonesia.

Konsep ini harus dijaga dengan baik demi eksistensi persatuan Indonesia atas perbedaan yang memang menjadi ciri khas negara kita ini. Jika masing-masing warga negara Indonesia memunculkan kembali semangat kesetiakawanan sosial atau menyama braya itu, maka ini akan menjadi pondasi kuat mencegah adanya pertikaian antar warga negara. Juga perpecahan atau kemungkinan keterbelahan antar masyarakat karena perbedaan suku, adat, agama dan nilai-nilai dalam kelompok sosial.

Jika kesetiakawanan sosial telah tertanam dan menerangi setiap kehidupan masyarakat Indonesia, maka sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada konflik-konflik pertikaian karena perbedaan yang terjadi. 

Semangat yang berbasis konsep ini akan mampu mengcounter segala macam maksud dan tujuan buruk dan akan menghancurkan persatuan Indonesia yang selama ini terjalin dengan baik. Dengan begitu kedamaian dan kerukunan bagi seluruh Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun