[caption caption="nasional.republika.co.id"][/caption]Seperti kita ketahui, ancaman terorisme masih terjadi baik di Indonesia, ataupun di belahan bumi yang lain. Terorisme terus bersemi dan meregenerasikan dirinya. Terorisme juga telah berhasil beradaptasi dengan teknologi, untuk merebut perhatian publik. Mereka juga pandai menyamarkan dirinya, meski tinggal dalam kawasan padat penduduk. Itulah mereka, yang mampu menjadi ‘bunglon’ demi melancarkan serangkaian aksi terornya. Namun, ada juga kelompok teroris yang terang-terangan hadir di tengah masyarakat. Contoh yang paling gamblang terlihat adalah kelompok ISIS, yang jaringanya telah menyebar ke banyak negara.
Setelah ledakan bom Thamrin di Jakarta, bukan berarti kelompok teroris ini hilang begitu saja. Terbukti, media massa terus memberitakan mengenai penangkapan terduga terorisme, oleh Densus 88. Fakta ini menunjukkan bahwa kelompok terorisme ini tidak pernah jera. Hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati, diberlakukan untuk kejahatan tindak pidana terorisme. Pola-pola semacam inilah yang menggunakan pendekatan ‘tinju’ keras, atau hard approach. Diperlukan ketegasan yang serius dari pemerintah. Presiden Joko Widodo sendiri telah mengeluarkan instruksi, untuk mengejar dan menangkap jaringan terorisme sampai ke akarnya. “Negara tidak boleh takut,” begitu kata Jokowi.
Meski menggunakan pendekatan yang hard, para teroris ini ternyata tidak pernah mati gaya. Ada saja inovasi yang dilakukan, untuk bisa menjerat korbannya. Mulai dari iming-iming mati syahid, mendapatkan surga, hingga istri yang cantik. Terbukti, ada saja yang terkena bujuk rayu kelompok ini. Ada yang bergabung dengan kelompok sesat, hingga yang diam-diam berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Belakangan, Ditjen Imigrasi mencekal 77 WNI yang diduga akan bergabung dengan kelompok ISIS. http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/13/dua-terduga-teroris-di-karawang-tambah-jumlah-tangkapan-di-jabar
Ironisnya, lembaga pendidikan pun juga sudah mulai disusupi oleh jaringan radikal agama. Dari pendidikan anak usia dini (PAUD) yang disusupi buku-buku radikal, hingga pesantren yang selama ini netral, juga tak luput dari sasaran kelompok radikal. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menemukan ada 19 pesantren, yang terindikasi mengajarkan paham kekerasan.Untuk menyikapi kejadian semacam inilah, diperlukan pendekatan yang sifatnya lebih soft. Menggunakan lobi, musyawarah, ataupun dengan pendekatan budaya. Pemerintah sendiri mempunyai program deradikalisasi terhadap mantan pelaku terorisme.
Pendekatan secara tegas dan lembut ini harus berjalan seiring. Tentu pendekatan yang soft harus menjadi pilihan yang utama. Hal ini penting untuk menghindari jatuhnya korban yang semakin banyak. Dan agama telah memberikan tuntunan, untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Apalagi budaya kekerasan juga bukan merupakan karekter Indonesia. Mari kita lihat sejarah. Walisongo pun menyebarkan Islam di Jawa dengan cara-cara damai. Melalui wayang, musik dan pendekatan budaya lainnya.
Perang melawan radikalisme, seperti dunia tanpa koma alias tidak pernah ada titiknya. Terus dan terus dilakukan, menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Kewaspadaan tetap harus ditingkatkan. Tidak hanya kewaspadaan pribadi, namun harus dikembangkan menjadi kewaspadaan nasional. Dari level RT hingga pemerintah, harus meningkatkan kewaspadaan dan jangan pernah berhenti untuk meredam radikalisme dan terorisme ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H