Begitu banyak yang telah berubah dalam dua setengah dekade terakhir di jalan berbatu menuju demokrasi di Dunia Arab.
Euforia yang menyelimuti partisipasi partai politik Islam, Arab, dan Turki dalam pemilu nasional di awal 1990-an telah mereda. Sejak itu, rezim-rezim kuat di Mesir, Yordania, Tunisia, Sudan, Negara-Negara Teluk, Turki, dan di tempat lain telah memberangus partai-partai ini, mengosongkan proses pemilihan, dan membuang demokrasi sebagai dasar pemerintahan. Selain itu, para pembuat kebijakan AS pada umumnya bersikap skeptis tentang Islam politik dan sering berupaya untuk melemahkannya.
Keputusan Ikhwanul Muslimin dan partai-partai politik yang berafiliasi secara ideologis di wilayah tersebut untuk memasuki pemilihan nasional merupakan sinyal kuat bagi publik Muslim bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi dan bahwa reformasi dan perubahan politik dapat terjadi secara bertahap dari dalam tanpa menggunakan kekerasan.Â
Partai-partai ini memberi isyarat kepada publiknya bahwa Islam politik arus utama dapat menjadi katalisator perubahan sebagai struktur mediasi antara negara dan masyarakat.
Banyak dari partai-partai ini sudah menyediakan layanan sosial, medis, ekonomi, dan pendidikan kepada publik mereka yang tidak dapat, tidak mau, atau lambat diberikan oleh negara. MB dan partai-partai afiliasinya di seluruh wilayah dari Turki hingga Maroko dan Mesir membuat keputusan strategis untuk berpartisipasi dalam pemilihan meskipun rezim mereka dianggap tidak demokratis.
Mereka memandang Islam mereka sebagai kompas moral untuk interaksi sosial dan politik sehari-hari mereka dan sebagai dasar pandangan dunia mereka.Â
Orang-orang memilih mereka dalam jumlah besar karena mereka menilai mereka lebih jujur dan tidak korup daripada partai politik "istana" dan agen lembaga dan layanan masyarakat sipil.Â
Dalam banyak diskusi, percakapan, seminar dengan para pemimpin beberapa partai ini Muslim, saya mendapat kesan yang jelas bahwa publik mereka memandang partai-partai ini sebagai sumber pemberdayaan untuk demokrasi dan sebuah janji untuk masa depan yang penuh harapan.
Seperti yang sering dimapaikan pemimpin, Islam arus utama, tidak seperti pandangan Wahhabi yang puritan tentang aturan ilahi, percaya bahwa aturan buatan manusia tidak bertentangan dengan ajaran Islam. "Seseorang bisa menjadi seorang demokrat yang baik dan juga seorang Muslim yang baik," katanya.
Ketika Ikhwanul Muslimin Mesir, Partai Refah Turki, Front Aksi Islam Yordania, al-Nahda Tunisia, dan Front Islam Nasional Sudan diizinkan mencalonkan diri untuk pemilihan, berbagai segmen populasi mereka memilih mereka.Â
Beberapa suara diberikan sebagai "protes" terhadap represi rezim dan korupsi; orang lain, sebagai pengakuan atas layanan sosial yang diberikan pihak-pihak ini kepada warga yang membutuhkan; yang lain lagi mencerminkan keyakinan bahwa partai-partai Islam arus utama mewujudkan janji terbaik untuk perubahan politik.