Bagaikan kejadian ledakan bom, dua hari yang lalu industri pertambangan minyak dan bumi digegerkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pembubaran BP Migas.Sebagaimana dibacakan oleh Ketua MK, alasan pembubaran BP Migas adalah sebagai berikut:
“Keberadaaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut MK keberadaan BP Migas tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan daya alam dalam pengorganisasian pemerintah. “
Berdasarkan pertimbangan potensi teserbut diatas tanpa disertai bukti-bukti maka BP Migas dianggap inkonstitusional dan harus dibubarkan.
Hal ini membuat benak saya terhenyak dan bertanya-tanya karena alasan itu tidak masuk didalam nalar saya. Bukankah semua lembaga negara, institusi dan badan pemerintah, perusahaan BUMN termasuk kantor kepresidenan, gubernur, bupati, kepolisian dan seterusnya khususnyayang berkedudukan strategis mempunyai mempunyai peluang penyalahgunaan kekuasaan dan potensi inefisiensi? Bukankah telah menjadi menjadi sebuah budaya bahwa banyak lembaga/badan negara, dan perusahaan-perusahaan BUMN yang beroperasi secara tidak efisien dan membuat keputusan dan kebijakan-kebijakan yang tidak efektif, yang mengabaikan kepentingan publik dan kepentingan nasional. Bahkan banyak pejabat-pejabat institusi pemerintah yang sudah dijebloskan kepenjara oleh KPK. Apakah konsideran dan alasan-alasan MK tentangpotensi –potensi tersebutsudah bijak sehingga sebuah lembaga pemerintah yang strategis tersebut harus dibubarkan?
Sebagaimana saya kutip dari Kompas bahwa “MK juga menilai UU Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbundling yang memisahkan kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah penguasaan.”
Yang mengusik pikiran saya adalah bahwa pertimbangan MK menilai UU membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Mengapa menuding dan menyalahkan pihak asing? Bukankah UU Migas dibuat oleh pemerintahan tokoh yang sangat nasionalis presiden Megawati dan disetujui dan disahkan oleh MPR (tokoh reformasi Amin Rais) dan DPR (tokoh negarawan Akbar Tanjung) ?Dan sebagaimana saya baca di Detik 2 hari yang lalu, eks Ketua BP Migas juga menyatakan bahwa UU Migas tersebut sudah pernah dikaji atau direview oleh Mahkamah Konstitusi sebelumnya pada saat Jimly Asshiddiqiemenjabat sebagai Ketua MK dan berpendapat UU Migas konstitusional atau tidak ada masalah.
Pola Unbundling yang memisahkan kegiatan hulu dan hilir ditenggarai sebagai pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional? Kok lagi-lagi pihak asing yang dituding dan dicurigai? Tanpa perlu di unbundling, bukankah industri migas secara alami memang terdiri dari kegiatan hulu dan hilir? Kegiatan hulu (upstream) yang meliputi ekplorasi dan produksi; kegiatan midstream, yaitu pipanisasi, transportasi (tanker), refinery dan aktvitas hilir (downstream) termasuk distribusi dan perdagangan wholesale, serta penjualan ritel minyak dan gas bumi. Kegiatan dan aktivitas tersebut memang terpisah, dan secara operasional karakteristinya berbeda. Dan pada umumnya, untuk masing-masing segmen industri ini, pengelolaannya juga dapat dikuasai oleh pelaku bisnis atau perusahaan migas yang berbeda-beda, tidak monopoli.
Jika MK menilai bahwa UU Migas tersebut dibuat dibawah pengaruh pihak asing, mengapa MK tidak mencabut UU Migas tersebut dan merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang baru. Tanggung sekali kalau keputusannya cuma setengah-setengah dengan membubarkan BP migas hulu saja dan tidak konsisten. Permasalahannya, pertimbangan dan keputusan MK tersebut menyangkut undang-undang yang berdampak strategis baik bagi pemerintah maupun para pelaku bisnis dan investor serta kreditur selaku penyedia dana. Semua pihak dan para stakeholder di industri migas perlu dan ingin mendapat kepastian hukum.
Apabila ada pejabat yang dinilai bersalah atau membuat kebijakan yang salah atau tidak perform menunjukkan kinerjanya, apakah lembaganya yang yang harus dibubarkan. Tidakkah cukup pejabatnya saja yang dicopot?
Pertanyaan lain yang timbul dalam benak saya, apakah “ ada “ lembaga atau badan-badan Pemerintah lainnya yang jangan-jangan inkonstitusional tetapi mewakili pemerintah untuk melaksanakan fungsi dan tugas-tugas pemerintah karena dapat dicap inkonstitusional?Apakah pemerintah (presiden dan menteri) tidak punya hak untuk memberikan kuasa dan mendelegasikan kewenangannya kepada lembaga pemerintah lainnya?
Pada kasus pertambangan mineral, apakah bupati mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dinyatakan didalam Undang-Undang Minerba? Apakah bupati dapat mewakili negara dan diberi kuasa untuk melaksanakan fungsi dan tugas negara didalam mengelola pertambangan mineral sebagaimana diamanatkan UUD 45? Jangan-jangan dalam hal ini bupati juga dipandang inkonstitusional dan kemungkinan bupati memiliki pengetahuan tentang pengelolaan dan pertambangan mineral pun tidak.
Dibawah ini pertanyaan-pertanyaan yang berada di laptop saya:
Mengapa harus berobat keluar negeri tidak dirumah sakit lokal? Apa khawatirtambah sakit jika dirawat didalam negeri?
Mengapa harus impor alutsista/ senjata dari luar negeri? Bukannya Pindad dan PAL punya kapasitas dan kapabilitas, dan sudah bisa membuat senapan mesin, panser, tank amfibi dan kapal cepat rudal serta kapal perang? Apa hanya assembling saja dan seluruhnya komponen spare part nya impor? Kenapa pemerintah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR untuk membeli senjata import? Apakah procurement atau pembelian senjata tugas dan fungsi DPR? Bagaimana mengauditnya jika DPR terlibat didalam keputusan procurement? Pembuatan dan persetujuan undang-undang pertahanan, persetujuan alokasi anggaran dan undang-undang APBN okelah, karenaitu memang tugasnya.
Mobil-mobil yang berkeliaran dijalan-jalan diseluruh Indonesia boleh jadi dapat dibilang 100% mobil import, maka pangsa pasar kendaraan beroda empat dan dua otomotis dikuasai oleh asing 100%. Apakah ada pengaruh dan tekanan asing sehingga semua orang Indonesia harus membeli mobil dan motor import ? Tetapi kenapa Dahlan Iskan membuat mobil listrik model Ferrari sendiri yang harganya tidak terjangkau dansibuk sendiri memamerkan mobil listriknya yang hijau lumut itu? Mengapa dia tidak membuat kebijakan industri manufaktur mobil domestik; mengapa dia tidak membuat blue print dan policy untuk mengembangkanCar Manufacture Industry untuk dijadikan dan digunakan sebagai pedoman, diaplikasikan dan dieksekusi oleh konsorsium BUMN.
Suatu Grand Design dan Policy yang berisitarget , rencana, strategi dan taktik, insentif didalam membuat prototype, desain, pengembangan teknologi mesin, pembangunan pabrik, pengembangan supporting industry/supplier, sampai pada strategi pemasarannya sehingga mobil buatan Indonesia yang irit energi, murah affordable, canggih dan keren desainnya dapat diproduksi secara masal dengan skala ekonomis dan bahkan dapat diekspor? Indonesia akan bangga apabila seorang Dahlan Iskan bisa membuat kebijakan industri mobnas dan bangga apabila Indonesia bisa membuat mobnas hybrid sekelas Toyota Kijang atau Honda Jazz. Masa kita kalah dengan Malaysia?
Anak-anak Esemka dari Solo yang memiliki sumber daya terbatas bisa. Kenapa Dahlan Iskan yang mempunyai kontrol terhadap portfolio BUMN dengan sumber daya yang luar biasa tidak bisa? Mampukah dan bisakah Dahlan Iskanmelakukan mobilisasi dan mengintegrasikan, serta memberdayakan fungsi, tugas, sumber daya, keahlian, pengetahuan, teknologi yang dimiliki oleh BUMN untuk membuat mobil nasional? Kok tidak dikerjakan? Kapan lagi?
Mengapa Merpati harus impor pesawat dari China? Seingat saya, IPTN sudah pernah menerbangkan prototype pesawat komersial sejenis, yaitu N 250? Mengapa pengembangan dan produksi pesawat tersebut harus dihentikan? Mementingkan China? IPTN merupakan unit R& D. Jadi memang memerlukan biaya R&D yang besar, tetapi implikasinya bila berhasil? Lapangan kerja, orang Indonesia yang pintar dan canggihseperti Habibie, penghematan devisa dan lain-lain.
Undang-undang dan peraturan pemerintah tentang Minerba menyatakan bahwa perusahaan penambang kecil wajib melakukan ekspor produk mineral dengan nilai tambah, sehingga untuk itu harus mendirikan smelter untuk keperluan processing dan refining- nya. Tetapi bukankah biaya pembangunan pabrik smelter nikel bisa mencapai 500 juta Dollar Amerika Serikat dan memerlukan supply tenaga listrik yang sangat besar? Apakah mampu mereka? Kenapa Kementerian ESDM dan BUMN tidak membuat kebijakan bagi perusahaan BUMN atau BUMD mendirikan smelter konsorsium non-profit bersama-sama dengan perusahaan-pertambangan yang memilki cadangan yang kecil untuk processing dan refining biji mineral?Perusahaan smelter konsorsiumselanjutnya dapat membebankan “passing through cost” untuk biaya processing dan refining sebelum dilakukan export. Apakah cadangan yang terkumpul dari kelompok perusahaan yang kecil cukup ekonomis untuk mendirikan pabrik smelter yang sangat besar biayanya? Kalo tidak ekonomis, mengapa diberikan izin atau IUP dengan konsesi yang luasnya kecil?
Mengapa produksi garam lokal tidak mengandung yodium sehingga banyak penduduk yang mengalami gangguan fisik dan mental dan/atau konsumen harus membeli garam impor? Buat garam yang sehat saja tidak bisa. Apalagi mengurusi sektor industri yang memerlukan pengetahuan dan keahlian yang canggih.
Mengapa bank-bank BUMN tidak mempunyai pengetahuan didalam melakukan analisa dan mendesain struktur pinjaman kredit pertambangan minyak, gas bumi dan mineral? Agar kredit pertambangan tidak macet bagaimana mengatasi resikonya? Bagaimana, siapa, institusi/perusahaan mana yang dapat menilai dan menetapkan nilai dan jumlah jaminan kredit berupa cadangan minyak dan gas bumi serta mineral yang berada dibawah tanah, dan disertifikasi sesuai dengan standard penilaian internasional?
Kenapa harus mencari kredit pertambangan dari bank-bank asing di Singapura, HongKong, London, dan New York? Mengapa tidak ada pasar kredit sindikasi dipasar perbankan lokal untuk kredit proyek-proyek mega? Bukankah sudah ada OJK yangharus mengembangkan industri pasar perbankan? Mengapa pengurus OJK tidak ada yang mempunyai latar belakang praktisi perbankan umum komersial dan bank investasi? Bagaimana mau mengembangkan industri kalau tidak ada yangmempunyai latar belakang dan memiliki pengetahuan dan pengalaman di pasar perbankan umum, bank investasi dan pasar modal?
Kenapa harus mencari investor luar negeri? Investor dalam negeri memangnya tidak punya dana untuk investasi pada usaha tambang yang memerlukan milyaran dollar atau trilyunan rupiah? Kenapa saham Freeport yang punya konsesi Grassberg dan Exxon Mobil (Cepu, Natuna, Arun),Chevron (Minas & Duri) tidak diakusisi saja ? Freeport, ExxonMobil dan perusahaan tambang lain-lain sudah go publik, sahamnya diperdagangkan dan dapat dibeli bursa saham NY secara bebas oleh siapa saja melalui internet, telfon, atau skype.
Kenapa Pemerintah tidak membuat peraturan atau undang-undang migas dan minerba yang mengharuskan semua perusahaan minyak, gas bumi serta mineral nasional dan asing yang beroperasi di Indonesia dan berproduksi, untuk menerbitkan sahamnya di bursa saham Jakarta sehingga masyarakat Indonesia juga dapat memperoleh akses dan dapat memilikinya. Kenapa perusahaan tambang asing yang mempunya konsesi tambangdisinimenerbitkan sahamnya di bursa London, Paris, Toronto, Australia, Spore, Hong Kong dan NY?
Pemerintah mau membeli saham 7% dari perusahaan pertambangan emas Newmont sebagaimana yang telah diperjanjikan didalam kontrak karya Newmont , tetapi dihalangi dan dipersulit oleh DPR. Keputusan MK adalah meminta Presiden RI untuk tetap memperoleh persetujuan dari DPR. Sementara itu, Bupati Sumbawa Barat, NTB yang mewakili pemerintah daerah dan Bakrie bisa membeli.
Bakrie yang notabene bukan wakil pemerintah beli kekayaan alam negara kok tidak minta izin DPR? Apakah kita boleh menduga ada pihak asing yang mempengaruhi MK dan DPR sehingga proses pembelian saham Newmont menjadi berlarut-larut sehingga negara dirugikan?Karena yang diuntungkan dalam hal ini adalah Newmont sebagai pihak asing yang menerima dividen selama saham tersebut belum dijual ke pemerintah. Tidakkah ini masalah eksekusi yang sebenarnyasederhana saja yang seharusnya dapat dilakukan seketika sesuai tanggal penyelesaian transaksi yang telah diperjanjikan didalam kontrak karya?Kok kompleks ya? Nggak dijalan, nggak dipemerintahan macet cet cet.
Bukannya kontrak karya yang ditandatangani oleh pemerintahtelah memperoleh persetujuan dari DPR zaman dulu? Apakah pemerintah tidak punya hak untuk menggunakan reserve didalam rekening investasinya untuk membeli asset negara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 45? Pemerintah yang mewakili negara mau membeli kekayaan alam negara dalam rangka kontrol terhadap asing kok susah sekali prosesnya? Katanya disuruh menguasai? Apakah ini serupa transaksi bail out sehingga menimbulkan kekhawatiran dapat merugikan seperti kasus Century?
Dalam hal pendanaan dan kredit untuk Infrastruktur bagaimana model, struktur dan cara mengatasi resiko cash-flownya nya nya untuk Pembangkit Tenaga Listrik, Pelabuhan, Airport, Pipanisasi Minyak dan Gas, Subway, Jembatan, Penjara, Rumah Sakit, Jalan Tol, Satelit Telekomunikasi dan lain-lain? Mengapa pembangunan proyek-proyek infrastruktur sangat lamban implementasinya? Mengapa hampir semua pendanaan proyek infrastruktur atau project finance diluar negeri digaransi/ dijamin pemerintah meski pihak swasta adalah pihak yang mengajukan kredit dan bertindak selaku debitur , membangun dan mengoperasikannya? Mengapa pemerintah disini tidak memberikan jaminan? Kenapa pembangunan monorel Jakarta berhenti padahal tiang-tiang fondasinya sudah dibangun? Berapa dana yang telah dihamburkan sehingga pembayar pajak yang dirugikan? Herannya tidak ada pembayar pajak yang menuntut Pemda atau Gubernur DKI untuk dibubarkan padahal sudah jelas mismanage.
Jalan khusus busway membuat lalu lintas sangat tidak efisien. Jalan busway dan marka pembatas jalan telah menimbulkan kemacetan disetiap entrance dan exit jalan tol, menimbulkan bottle neck dipersimpangan jalan dan penyempitan jalan dimana-mana, padahal buswaynya hanya lewat dan mengangkut penumpang sejam sekali. Ampyun macetnya Jakarta. Bisa 3 jam kejebak macet. Belum lagi kalau hujan! 6 jam. Joko, help! Jangan Joko tidak menolong, kecuali mau pulang kampung ke Solo! Mau Pemda dibubarkan seperti BP Migas? Kenapa Gajah Mada dan Hayam Wuruk bisa dibebaskan dari three in one? Sementara Thamrin dan Sudirman tidak?
Semanggi paling parah! Mbok ya Komdak tahu diri ; mengorbankan tanahnya sehingga jalan Jenderal Gatot Subroto bisa diperlebar dan lancar. Interchange tol Cawang- Jagorawi, mengapa BUMN Jasa Marga tidak berinisiatif membuat interchange yang bertingkat sehingga bottleneck bisa diatasi seperti di jalan-jalan freeway di Los Angeles? Bukannya direktur Jasa Marga sering jalan-jalan ke Amerika Serikat? Mbok ya dicontoh. Tarif Tol naik terus tapi jalannya tidak bebas hambatan alias macet cet cet. Maunya untung saja tetapi tidak punya tanggung jawab sosial. Tol Sidney, Australia yang menggunakan electronic pass gate tanpa bayar/ tiket toll juga bisa ditiru. Lancar!
Banyak sekali kasus yang ironis. Provinsi Riau, produsen minyak terbesar di Indonesia, kok bisa mengalami langka bensin? Kalimantan, produsen batubara terbesar bahkan ekportir batubara terbesar didunia kok bisa kekurangan listrik?
Pertanyaan-pertanyaan dari laptop saya tersebut seharusnya dapat mengilustrasikan bahwa betapa primitifnya kebijakan,proses pengambilan keputusan,pengetahuan, keahlian, prestasi dan kinerja yang kita buat dan kita miliki. Hampir disegala bidang kita cuek dan ini sangat memprihatinkan. Boleh jadi hal-hal tersebut disebabkan karena adanya pembiaran, vested interest golongan tertentu, conflict of interest dalam tugas dan fungsi, diantara para pemimpin, para oknum, politikus, lembaga negara dan penegak hukum serta pengusaha tertentu dan juga disebabkan oleh kebijakan makro dan hukum yang saling bertentangan dan tumpang tindih. Tidak ada koordinasi dan asal-asalan. Pendeknya, semua sibuk untuk kepentingan pribadi, korup mengatas namakan rakyat, dan berpikir jangka pendek sehingga hampir semua bidang industri nasional dikuasai asing atau ambur adul pengelolaannya. Tidak hanya pada sektor industri perminyakan dan gas bumi saja. Yang lain idem judulnya. Belum lagi masalah kekerasan, konflik sosial, agama, etnis yang meng disintegrasikan persatuan dan kesatuan bangsa sehingga negara ini dikutuk oleh PBB. Dodol! dan memalukan.
Indonesia tidak memiliki kebijakan industri dan teknologi yang komprehensif dan detail seperti policy MITI di Jepang dan/ atau Industrial and Technology Policy yang dimiliki olehnegara-negara maju dan negara tetangga seperti Singapura. Ataupun juga memiliki Energy Policy dan Infrastructure Policy. Kebijakan-kebijakan tersebut pada hakekatnya merupakan target-target didalam mengelola sumber-sumber daya yang meliputi manusia, teknologi, keuangan,dan juga strategi, taktik, kegiatan & aktifitas implementasi yang digariskan untuk mendukung pengembangan suatu industri yang kompetitif tertentu guna menguasai pangsa pasar domestik dan luar negeri. Dengan itu seluruh sumber daya; target, pendidikan, perbankan & pasar modal , riset teknologi, pengetahuan, insentif pajak dan kemudahan; seluruhnya dapat diarahkan dan difokuskan serta diberdayakan untuk mencapai target industri yang hendak dan ingin dikembangkan. Dan yang terpenting, kebijakan tersebut dibuat dan diimplementasikan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk kemakmuran masing-masing negara.
Sejak merdeka dan melihat sejarah industri minyak dan gas bumi, menurut hemat saya bahwasanya Indonesia tidak pernah dan sampai saat ini, belum memiliki kebijakanenergi minyak dan gas bumi yang komprehensif yang memprioritaskan kepentingan nasional siapapun pemerintahannya baik selama pemerintahan orde lama, orde baru ataupun pasca reformasi, baik pada saat fungsi regulasi dan kontrol pengelolaan dan operationalindustri migas berada dibawah otoritas Kementerian, BKKA, Pertamina ataupun selama berdirinya BP Migas.
Tidak pernah ada kebijakan dan strategi dan upaya-upaya pemerintah yang konkrit untuk mendorong dan mengembangkan industri minyak dan gas bumi nasional, serta upaya untuk melakukan kontrol dalam perdagangan komoditi minyak dan gas bumi yang sangat strategis ini. Pembubaran BP Migas atau pembentukan badan baru atau BUMN baru yang dapat mewakili dan melaksanakan fungsi dan tugas pemerintah tidak ada gunanya dan tidak memiliki implikasi terhadap indusri perminyakan dan gas bumi selama kebijakan yang mempriotaskan kepentingan nasional tidak ada dan tidak dibuat oleh pemerintah apapun lembaganya. Apa bedanya? Inkonstitusional juga. Apalagi apabilasetiap kebijakan yang dibuat, penuh dengan intrik politik dan berdasarkan vested interest golongan tertentu yang ujung-ujungnya duit.
Bisa jadi rakyat juga akan senang dan lebih menghargai melihatnya apabila secara elegan Din Samsyudin dan Moh. Mahfud MD dapat melakukan pendekatan persuasive dan melakukan pressure ke pemerintah dengan dialog dan lobby-lobby agar presiden RI danpemerintah membuat kebijakan yang berpihak untuk mendorong pertumbuhan industri minyak dan gas bumi nasional yang handal dan tangguh. Untuk merumuskan strategi, diperlukan juga pembentukan forum migas dan pembentukan tim think-tank. Dengan itu, maka dapat dipastikan akan banyak sekali pakar migas yang dapat berkontribusi untuk membantu.
Hampir semua eksplorasi dan oil discovery , produksi dan perdagangan minyak di Indonesia seluruhnya dilakukan oleh perusahaan minyak asing. Dengan sendirinya, industri minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh perusahaan migas asing. Dengan demikian perusahaan migas nasional mempunyai pengalaman dan keahlian dan sumber daya serta akses modal yang terbatas atau minim, untuk mengelola pertambangan minyak dan gas bumi.
Bagaimana dibandingkan dengan negara-negara yangmemiliki sumber daya cadangan minyak dan gas bumi ? Yang jelashegemoni produksi dan perdagangan minyak dan gas bumidi Timur Tengah yang memiliki cadangan terbesar didunia masih juga dikuasai oleh Barat. Sementara itu, di Rusia, Putin dengan kebijakan migasnya telah berhasil menghancurkan dominasi asing dan bahkan sebaliknya Rusia berupaya untuk menguasai Eropa Barat dan Asia Tengah untuk menekan hegemoni Amerika Serikat dan China. Bahkan perusahaan minyak dan gas bumi swasta nasionalpun wajib untuk memprioritaskan kepentingan nasional. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka Putin akan mengakusisinya secara paksa. Begitu pula dengan Brazil dan Venezuela. Kebijakan Putin di Rusia atau Brazil mungkin dapat menjadi referensi model untuk mengembangkan Kebijakan Energi R.I.
Menurut para pengamat industri migas, Pertamina sendiri secara praktispada saat bertindak mewakili pemerintah, (sebelum BP Migas didirikan) jugatidak melakukan apa-apa sehingga tidak mempunyai pengetahuan tentang pengelolaan hulu. Kasarnya, hanya duduk-duduk menerima bagi hasil dariperusahaan minyak asing dan mengurusi hilir sehingga banyak konsesi migas Pertamina yang dibiarkan tidak produktif. Dan agak absurb apabila BUMN juga melaksanakan fungsi regulasi.
Kejadian Lapindo juga merupakan pelajaran yang mahal bagi industri migas nasional. Dengan pengalaman blow out / force majeur, mudah-mudahan pemahaman perusahaan-perusahaan migasnasional terhadap resiko resiko pengelolaan tambang minyak dan gas bumi akan semakin dapat ditingkatkan sehingga pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi dapat dilaksanakan lebih hati-hati dan profesional.
Penerbitan kebijakan migas yang memprioritaskan dan mepertimbangkan kepentingan nasional, tentunya merupakan tanggung jawab penuh Presiden RI. Kebijakan migas harus dapat memprioritaskan kepentingan nasional guna mendorong kegiatan dan aktivitas eksplorasi, produksi perusahaan migas nasional sehingga cadangan minyak Indonesia yang terbatas dan produksinya yang menurun dapat ditingkatkan lagi. Untuk itu kebijakan migas nasional dapat memberikan insentif pajak serta cost recovery untuk biaya bunga atau biaya pendanaan sehingga perusahaan nasional tertarik untuk investasi, melakukan pengeboran eksplorasi dan berani mengambil resiko dry hole dengan biaya kerugian material yang cukup signifikan sehingga dapat mereduksi peran dan leverage asing. Bagaimana mau berperang melawan asing raksasa yang canggih apabila tidak diberi peluru?
Perusahan minyak dan gas bumi nasional juga dapat diberikan privilege untuk mengakuisisi dan/atau memperoleh konsesi minyak dan gas bumi didaerah yang memiliki potensi cadangan minyak dan gas bumi yang tinggi dengan equity split yang menarik. Kebijakan equity split yang lebih menarik dapat digunakan untuk mengkompensasi kecenderungan perusahaan minyak dan gas bumi untuk melakukan mark-up pada cost recovery. Sebagaimana diketahui margin keuntungan perusahaan minyak dan gas bumi hanya +/- 5% karena harus dipotong pajak pemerintah berupa first tranche petroleum (semacam royalty) , equity split (bagi hasil produksi pemerintah)sebesar 80 -85 % untuk pemerintah, dan pajak +/- 40%serta potongandomestic market obligation. Kesalahan kecil saja dapat menimbulkan kerugian, dimana dilain pihak resiko yang dihadapi sangat besar. Hanya cadangan dan volume produksi yang besar dan lonjakan harga minyak yang tinggi yang dapat meningkatkan margin dan keuntungan perusahaan minyak dan gas bumi.
Untuk mengontrol pihak asing, alternatif skema lainnya yang dapat dikaji pemerintah adalah dengan menghapuskan Production Sharing Contract/kontrak bagi hasil dan membuat skema baru melalui kepemilikan saham antara pemerintah dan investor swasta, sehingga semua kepemilikan perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi juga dimiliki oleh negara/pemerintah dengan konsekuensi pemerintah/negara harus melakukan investasi sesuai dengan porsi sahamnya. Dengan itu status kepemilikan negara menjadi jelas dan skema cost recovery juga dapat ditiadakan sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Qatar. Skema yang sama juga dapat diaplikasikan pada sektor pertambangan mineral.
Dengan memberikan privilege kepada industri minyak dan gas bumi nasional, maka pengusaha nasional diharapkan akan berani untuk mengambil resiko dan melakukan investasi pada sektor dan gas bumi dan sekaligus dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan pengalaman didalam mengelola eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi disektor hulu.
Tanpa ada kebijakan migas yang memprioritaskan kepentingan nasional, setiap kepresidenan, kementerian atau lembaga, badan pemerintah, BUMN, apapun lembaga dan institusinya, yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah dan negara, pada dasarnya tidak memiliki legitimasi. Deregulasi, reformasi pada industri dan koordinasiantar lembaga negara dan hukum sangat diperlukan apabila Indonesia mempunyai keinginan untuk menguasaidan mengembangkan industri migas nasional. Pembubaran BP Migas tidak ada gunanya dan tidak ada implikasinya sama sekali pada industri. Yang diperlukan adalah presiden dan jajaran pejabat-pejabat pelaksana yang dapat membuat kebijakan dan strategi dalam rangka mengontrol & menjaga keamanan energi, eksplorasi, produksi, perdagangan yang mempertimbangkan kebutuhan energi domestik serta mendorong perkembangan industri dan perusahaan-perusahaan migas nasional. Dengan itu, pertumbuhan ekonomi yang sustainable untuk Indonesia yang makmur dan sejahtera, diharapkan dapat tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H