Mohon tunggu...
Edi H. Sidharta
Edi H. Sidharta Mohon Tunggu... -

You don't need to know anything. Zillions of words in trillions of books on billions of shelves in millions of libraries. More pages of expertise on the Internet than anyone could ever count, let alone read. Just google it.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Money

Swasembada Bakso Bangsa Oncom

15 Desember 2012   23:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:35 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Menanggapi harga sapi yang meroket, pada tanggal 30 November, 2012 Hatta Rajasa menghimbau agar masyarakat untuk beralih kedaging kelinci. Miris sekali mendengar pernyataan itu dari seorang Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia. Apakah beliau sedang galau karena melihat pengelolaan program swasembada sapi tidak siap, bahkan tampak berantakan dan bisa menjadi bumerang politik baginya. Didalam hati saya, dipasar mana saya bisa membeli daging kelinci? Tetapi sikapnya yang masa bodoh banget, kebangetan!  Kementerian Pertanian pun diam seribu bahasa, tidak peduli, buang badan tidak mau disalahkan atas terjadinya kenaikan harga dan langkanya daging sapi, padahal Menteri Pertanian adalah menteri yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah pangan dinegeri ini. Sebaliknya, pemerintah hanya mengumumkan data surplus daging yang bertentangan dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan, belagak tolol dan bahkan mencari kambing hitam,  dan  menyalahkan pihak-pihak tertentu dengan berbagai alasan.

Kalau saya yang menjadi Menko Perekonomian, telinga Menteri Pertanian sudah pasti saya selentik, saya jewer hidungnya, cakar mukanya, jitak kepalanya dan jambak rambutnya. Dan “kick in the ass “ agar dia segera bergerak membenahi industri peternakan sapi yang sudah morat-marit tidak karuan semerawutnya. Apakah ada political gap antara Hatta yang PAN dan menteri pertanian yang PKS? Seharusnya mereka saling mengingatkan dan tidak ada cultural gap. Kalau perjanjian koalisi tidak cukup, apa perlu fatwa MUI agar keduanya wajib saling mengingatkan, berkomunikasi untuk mengatasi masalah daging sapi yang tidak beres ini. Berikan solusi. Haram hukumnya kalau tidak beres. Apakah ada hidden agenda dan politisasi pangan?Capek melihat politik dinegara ini. Lepas dari politik, yang penting para pejabat tidak berkoalisi untuk saling berkolusi dan berjamaah untuk tidak bertanggung jawab. Pangan sapi merupakan kebutuhan yang mendasar tidak hanya bagi kelas atas saja tetapi juga untuk kalangan menengah dan bawah. Dan jangan rakyat yang dikorbankan.

Bakso babi dan/atau bakso celeng sudah marak melanda di Jakarta. Masyarakat resah padahal belum tentu melanggar hukum karena tidak ada UU Bakso yang mengharuskan adanya sertifikasi halal dan bagi umat Kristen dan non-islam lainnya mungkin bakso tersebut juga bukan merupakan masalah. Kesannya surealis melihat situasi pangan dan politik dagang sapi di Jakarta. Harga sapi sudah mencapai Rp 100.000,- per kg dan diperkirakan menjelang natal dan tahun baru diperkirakan bahkan akan naik lagi mencapai Rp 150.000 –Rp 160.000,- per kg. Memang harga daging diseluruh didunia akhir-akhir ini naik sebagai akibat kenaikan harga pakan ternak jagung di Amerika Serikat karena musim kering dan adanya permintaan jagung untuk kebutuhan bio-energy , tetapi kenaikan harga daging sapi didunia hanya berkisar 5%. Kalau harganya semakin melambung, tidakkah kemungkinannyaakan lebih besar dari sekedar mungkin kalau bakso-bakso yang marak melanda Jakarta akan dioplos juga dengan jeroan babi? Bagaimana dengan daging giling? Dendeng ? Kornet? Sosis? Abon? Dan semacamnya. Sertifikat halalpun tidak akan bisa menjamin bahwa isinya adalah oplosan. Masalahnya harga daging sudah melangit apalagi untuk masyarakat yang hidupnya dan daya belinya sudah pas-pasan.

Belum lagi maraknya daging sapi gelondongan yang isinya air yang rawan bakteri penyakit karena lembab dan basah. Begitu daging sapi digoreng, besar dan beratnya, langsung susut. Daging itupun dapat ditemukan di pasar dan supermarket. Dengan langkanya sapi, sapi harus disiksa dulu untuk diminumi dan diisi air sebanyak-banyaknya ke badan sapi melalui selang. Peternak harusmemastikan bahwa air didalam tubuh sapi juga telah full tank sehingga proses pengisian air ke mulut dan muntah air dari mulut sapi dilakukan berulang-ulang kali, sampai sapi pingsan 6- 8 jam, lalu ditidurkan dulu sehingga air masuk terserap masuk kedalam daging. Tersiksa sekali sapi-sapi itu. Dengan menyiksanya, maka berat sapi bertambah dan daging bisa dijual dengan harga yang menguntungkan. Kalau tidak diisi air, peternak sapi rugi. Selain harga beli sapi yang mahal, peternak juga harus menanggung beban biaya pakan ternak yang bahan bakunya terdiri dari kedele dan/atau jagung impor. Sudah tidak ada lagi hak asasi binatang dibumi Indonesia ini. Biadab! Hak asasi manusia untuk makan daging yang sepele saja tidak ada apalagi hak asasi binatang. Gajah-gajah dibantai, diracun dan disiksa sampai mati. Orang-hutan ditembaki 100 kali sampai sekarat. Benar-benar bangsa kita adalah bangsa tempe. Untung, kedelenya 89 % impor dari Amerika. Bagaimana jadinya kita kalau kedelenya lokal. Sudah menjadi bangsa oncom kita. Tragis. Kapan kita bisa menjadi bangsa daging sapi seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno, pemimpin revolusi Republik Indonesia?

Mahalnya pakan ternak yang berbahan baku impor dan kurangnya pasokan juga menjadi kendala tersendiri sehingga sapi-sapi lokal juga “undernourish”, kurus dan tidak terurus. Sebagai contoh, 40% sapi di NTB dan NTT dalam kondisi kekurangan gizi, karbohidrat dan protein, sehingga tingkat kelahiran sapi rendah sekali. Hanya 1 kali setelah itu tidak bisa punya anak lagi meskipun sudah kawin berkali-kali.Bahkan, peternak di Jawa untuk membeli pakan untuk induknya, harus menjual anak sapinnya.

Pekerjaan menyediakan pakan untuk sapi memerlukan energi dan tenaga yang besar, karena konsumsi pakan ternak idealnya mencapai 40 kg segar hijauan pakan (rumput gajah , jerami padi, tangkai dan batang jagung dan lain-lain); 10 kg konsentrat atau sekitar 50 kg pakan/ekor/hari. Untuk aktivitas dengan kapasitas jumlah ternak skala menengah (100-1000 ekor) memerlukan peralatan mekanisasi yang dapat membantu mobilitas pakan. Sementara ini, peternakan sapi disini hanya mampu memberikan 14 kg -20 kg pakan/per hari.

Di Jawa sampai-sampai ada kasus peternak yang mengembalakan sapi di tempat pembuangan/ landfill sampah untuk mendapatkan pakan berupa sampah sebagai makanannya. Sebagai akibatnya, daging sapi yang dijualnya mengandung timbal dan zat racun lainnya yang membahayakan kesehatan manusia. Tidak ada pengawasan dari pemerintah untuk mengontrol makanan untuk sapi yang dipelihara oleh peternak-peternak di Indonesia?

Menurut BPS, populasi sapi di Indonesia sekarang telah mencapai 14 jutaan ekor, tapi apakah data itu akurat? Buktinya daging sapi langka dan tidak ada dipasaran dan harganya sudah gila-gilaan. Bisakah BPS mempertanggung-jawabkan data tersebut dengan menjelaskan ke publik bagaimana sensus populasi sapi itu dihitung dan dilakukan. Jadi masyarakat juga percaya dengan data sensus itu. Apakah 14 juta ekor sapi itu sapi jantan semua yang bisa dipotong dan dikonsumsi.

Kalau 50% nya terdiri dari sapi betina dan sapi perah, artinya hanya 7 juta ekor sapi saja yang bisa dipasok untuk dikonsumsi. Mana cukup untuk memenuhi permintaan kebutuhan protein ratusan juta orang penduduk Indonesia? Apa betul sapi diperiksa sampai pada jenis kelaminnya pada saat disensus? Data lonjakan populasi sapi yang begitu tinggi dibeberapa daerah juga dianggap tidak masuk akal dan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Selama BPS tidak bisa mempertanggung jawabkan data tersebut, maka data tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menjadi pertimbangan didalam membuat keputusan dan kebijakan dan untuk itu harus dilakukan sensus ulang.

Sebagaimana diketahui 90 % pelaku pada industri ternak sapi di Indonesia terdiri dari petani yang beternak secara sambilan yang memelihara 2 -3 ekor sapi saja. Rata-rata peternak berumur 50 tahun dan tidak mempunyai pengetahuan moderen dan keahlian mengenai pengelolaan peternakan sapi. Sapi tidak diperjual-belikan tapi dipelihara selayaknya seperti tabungan. Kalau petani memerlukan uang atau keperluan lainya seperti pembayaran kredit, pembelian rumah, pembayaran uang sekolah dan lain-lain, maka sapi baru dijual. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk memasok permintaan konsumen secara kontinyu.

Pada segmen menengah, peternak dapat memelihara sampai 15 ekor saja. Sedangkan, jumlah perusahaan peternakan komersial yang melakukan ternak sampai 3000 ekor sapi, mungkin dapat dapat dihitung dengan jari . Pada sentra peternakan sapi yang terdapat lahan atau padang rumput di kawasan Timur seperti di Sumbawa, peternak bisa memelihara sapi sampai 35-50 ekor. Namun demikian, lahan padang rumput masyarakat yang digunakan komunal bersama untuk pengembalaan di NTB dan NTT, luasnya sangat terbatas. Jumlah dan luas lahan padang rumputsemakin lama juga semakin sedikit karena pada lahan dan lokasi yang sama juga dipergunakan untuk kegiatan pertambangan.

Pada segmen industri feedlot penggemukan sapi import, saat ini terdapat 24 perusahaandi Jawa dan Lampung.Namun kondisi feed lot tersebut sudah diambang kebangkrutan. Mati tak mau hidup tak mau. Utilisasinya hanya 25 % dan terpaksa harus melakukan PHK sebagian karyawannya. Hal ini merupakan dampak dari kebijakan kuota impor sapi bakalan yang dipangkas dari 765.000 ekor, turun menjadi580.000pada tahun 2010 dan sekarang hanya menjadi 285.000 untuk tahun 2012 atau setara dengan 51.000 ton daging. Kurang lebih hampir 10% daridari total estimasi permintaan daging sapi 480.000 ton per tahun.

Dalam rangka menekan impor dansebagai kebijakan proteksi, pemerintah juga mengharuskan untuk setiap ekorsapi yang diimpor memiliki sertifikat silsilah sehingga dapat diketahui jenis dan rumpun sapinya,yang tidak jelas kegunaannya.Bagaimana mungkin cowboy dan cowgirl di Australia atau Selandia Baru dapat mengetahui silsilah dari puluhan ribu dan bahkan jutaan sapi yang digembalakan di ladang ladang rumput yang luas dan kawin silang dengan bebas diantara berbagai jenis dan rumpun sapi? Apakah mungkin dilakukan test DNA untuk setiap ekor sapi sebelum diekspor? Berapa biayanya? Suatu kebijakan yang mustahil untuk diterapkan dan tidak konvensional didalam perdagangan sapi dunia. Ini sama saja menutup impor dan bertentangan dengan GATT yang telah disetujui oleh pemerintah dan beresiko ekspor Indonesia diboikot oleh negara lain.

Hampir 50% daging impor digunakan untuk memasok bahan baku ke pabrik pengolahan daging bakso, sosis, kornet. Juga restoran, hotel dan catering dan industri makanan perumahan. Dengan supply daging impor yang menciut, sekarang sebagian restoran juga harus membeli daging di pasar dan supermarket sehingga semakin memicu kenaikan harga daging sapi dan sebagian usaha pengolahan daging juga harus menutup usahanya . Langkanya daging baru-baru ini juga telah memicu penyelundupan daging impor dari India. Negara yang belum bebas dari penyakit kuku dan mulut. Import daging dari negara yang tidak bebas penyakit, sebagaiman diketahui dilarang oleh UU Pertanian, sehingga untuk memasarkannya disini, daging India di paket dengan labelisasi daging dari Australia atau dijual dipasar-pasar dengan label lokal.

Pasokan sapi Jawa Timur keluar dari Jawa Timur juga dibatasi karena ada peraturan gubernur yang melarang distribusi sapi dengan berat dibawah berat 400 kg per ekor. Begitu pula dengan pasokan yang masuk ke Jawa Timur, dibatasi. Sehingga harga sapipun di Jawa Timur juga meroket. Bahkan pada sentra-sentra peternakan telah terjadi pemotongann 60 -80% sapi betina yang produktif untuk memenuhi permintaan konsumen sehingga mengancam tingkat pertumbuhan dan kelahiran ternak.

Kebijakan restriksi serupa juga berlaku di Sumbawa. Pasokan sapi yang dipasok keluar dibatasi sampai 50.000 ekor per tahun dan produksinya tampakanjlok dari 100.000 ekor dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kemampuan kawasan Timur semakin menurun disebabkan karena mahalnya sapi dan tidak dapat bersaing dengan peternakan sapi di Jawa.

Transportasilaut dan darat juga merupakan hambatan. Jalur distribusi pengiriman sapi juga tertutup di Jawa Timur. Untuk memasok sapi dari Nusa Tenggra Barat, kapal pengangkutan sapi dilarang masuk ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, sehingga pasokan dari NTB atau NTT ke Jawa harus masuk melalui pelabuhan Cirebon untuk memenuhi mayoritas konsumen daging sapi di Jawa Barat dan Jakarta. Kebijakan yang egois yang mementingkan daerahnya sendiri, karena jalur-jalur distribusi sapi kepulau Jawa menjadi tertutup. Transportasi antar pulau juga relatif tidak tersedia sehingga sapi harus dikirim menggunakan kapal kayu. Itupun kalau ada. Pengiriman dalam bentuk daging melalui udara juga tidak memungkinkan, karena didaerah NTB dan NTT tidak ada Rumah Potong dengan mekanisme moderen dan Rumah Pendingin. Target pemerintah tahun ini untuk membangun 120 RPH diseluruh Indonesia juga gagal total, karena hanya 2 saja yang baru didirikan.

Untuk memenuhi target pasokan 90% dari dalam negeri Dahlan Iskan, melalui perusahaan-perusahaan BUMN juga sudah mulai berupaya untuk mendirikan peternakan sapi dengan mengintegrasikan peternakan sapi dengan perkebunan sawit . Dengan lahan padang rumput yang terbatas dan harga pakan ternak yang mahal, sapi digembalakan di perkebunan sawit dan diberi makan pelepah dan daun kelapa sawit dan bungkil kelapa dan kotorannya menjadi pupuk sawit.

Tetapi perusahaan-perusahaan perkebunan sawit BUMN mempunyai kendala untuk mendapatkan bibit sapi sehingga jalannya program ini juga terseok seok. Bibit sapi impor tetap dilarang oleh pemerintah, meskipun bibit tersebut diperlukan untuk bibit, bobot, bebet dan produksi sapi yang akan menjamin pasokan dan kualitas daging sapi. Tahun ini Realisasi program integrasi kebun dan ternak hanya mencapai27%, yaitu sebesar 27,000 ekor yang jauh dari target 100.000 ekor.Integrasi sawit dan sapi yang rendah menggambarkan tidak adanya koordinasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN. Seharusnya pemerintah dapat melakukan upaya terobosan melalui kebijakan bridging program, yaitu dengan bibit impor sementara.

Dengankondisi demikian, relatif Indonesia tidak mempunyai industri peternakan yang dapat menjamin pasokan sapi yang secara kontinyu dapat memenuhi permintaan daging sapi. Dilain pihak, permintaan selalu mengalami peningkatan. Walaupun pemerintah selalu menyatakan ada surplus pasokan, dipasar ritel supermarket saja, sebagai contoh terjadi kekurangan pasokan sebesar 21% atau 12.700 – 15.000 ton per tahun.

Obyektif ketahanan pangan sapi dan swasembada daging sapi juga tidak mungkin rasanya tercapai apabila tidakada peternakan sapi yang berkelas industri skala besar dengan pola yang ekstensif dari hulu genetik, pembibitan sampai ke hilir pasar ritel yang didukung oleh industri pabrik pakan ternak. Sampai saat ini belum ada perusahaan peternakan di Indonesia yang jumlah sapinya yang mencapai puluhan ribu atau jutaan ekor seperti di AS, Australia dan Selandia Baru yang dapat menjamin pasokan. Pemerintah sendiri tidak mempunyai blue print kebijakan dan strategy untuk mengembangkan perternakan sapi dengan dengan skala industri. Program percepatan untuk swasembada sapi pada tahun 2014 hanya ditujukan untuk para petani dan peternak berskala kecil dan menengah dan implementasinya sebagai dapat diduga tidak terkoordinasi.

Investor domestik atau swasta nasional dan asing juga tidak mau menanamkan modalnya di peternakan sapiuntuk skala industri.Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut;

1.Jumlah modal investasi jangka panjang yang diperlukan sangat besar

2.Return yang rendah dan payback investasi yang terlalu lama karena pemeliharan sapi yang lama.

3.Terbatasnya bibit unggul sapi jantan dan minimnya sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan keahlian           genetik (bio-tech).

4.Reproduksi sapi lokal yang rendah sehingga tidak efisien.

5.Lahan yang terbatas dan infrastruktur transportasi/ jalur distribusi antar pulau dan darat yang belum memadai

6.Pasokan pakan tidak terjamin dan tidak mencukupi

7.Resiko epidemis penyakit kuku dan mulut.

8.Resiko politisasi dan konflik dengan industri peternak kecil dan menengah

9.Konsumsi daging per kapita yang rendah hanya 2.2 kg (dinegara maju 10x lipat).

10.Resiko legal sebagai akibat kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan selalu berubah-rubah.

Upaya pemerintah untuk menarik pemodal asing dari Australia 2-3 bulan bulan lalu juga belum berhasil dan kelihatannya investor masih ragu melihat keseriusan dan kesungguhan Indonesia untuk membangun peternakan sapi yang berskala industri. Dari perspektif investor, dengan berbagai kendala dan kondisi prasarana dan sarana yang tidak mendukung , Indonesia dipandang tidak mempunyai “competitive advantage” untuk membangun industri peternakan sapi moderen yang ekstensif.

Untuk itu pemerintah perlu mendefinisikan ulang kebijakan swasembada sapi, karena kebijakan pasokan 90% tersebut tidak realistis dan tampak tidak feasible. Target pengembangan industri peternakan sapi pada perusahaan feedlot penggemukan dengan upaya mendirikan unit-unit breeding lebih tepat, sebagai bridging sementara dan batu loncatan untuk menuju peternakan dengan skala industri, disamping untuk dapat memasok dan memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri. Terbitkan peraturan yang mewajibkan semua feedlot untuk mendirikan unit breeding.

Selain resikonya yang jauh lebih rendah, penggemukan hanya memerlukan turnover waktu 6 bulan dengan membeli sapi yang berumur 2 tahun dan dijual setelah melakukan penggemukan. Dilain pihak, jika peternak harus ke usaha memproduksi anak sapi; mereka harus membeli induk dulu dan kemudian dikawinkan. Kalaupun berhasil, 10 bulan kemudian baru beranak dan lalu harus memelihara anak itu dua setengah tahun. Total diperlukan proses pemeliharaan selama tiga tahun lebihuntuk bisa menjual anak tersebut. Selama tiga tahun itu biaya yang dikeluarkan sangat besar dengan mahalnya makanan ternak dan ada resiko kena penyakit.

Upaya capacity building dan program peternakan konsorsium melalui koperasi untuk para peternak kecil juga dapat diadopsi dengan target untuk mengembangkan industri peternakan skala menengah yang dapat menjamin pasokan daging sapi. Program dengan skema plasma dengan para petani kecil melaluiperusahaan BUMN pertanian dan perkebunan sebagai koordinator, juga dapat dipertimbangkan dan dikembangkan sebagai alternatif.

Disamping itu, program trobosan dengan bridging melalui bibit sapi impor sementara untuk mendorong integrasi sawit dan ternak seyogyanya juga dilakukan.Identifikasi dan penetapan sentra dan zona kantong ternak baru, pengadaan prasarana, sarana, pengembangan industri pakan, pembangunan infrastuktur jalur distribusi dan pengadaaan transportasi  yang efisien untuk pengiriman daging ke Jawa yang terintegasi, mutlak diperlukan, dan harus dilakukan.

Dengan upaya-upayadiataspun, saya masih pesimis untuk bisa berswasembada, karena masih banyak kendala dan tantangan yang harus kita hadapi, yang tidak bisa diungkapkan dan dibahas disini satu persatu. Terlalu panjang ceritanya. Belum lagi masalah kalau sapi dipolitisasi. Tetapi paling tidak kita bisa maju ketahap berikutnya.

Pengalaman, dan program swasembada sapi tahun 2005 dan 2010 yang ditunda menjadi 2014, menunjukkan Indonesia telah gagal beberapa kali dan tampaknya 2014 juga akan kandas lagi. Bagaimana kalau gagal terus? Sementara harga daging naik terus dan memberatkan rakyat. Realistis saja. Target pasokan sapi domestik 90% harus diturunkan.

Sebagai alternatif, upaya pemerintah dapat  lebih difokuskan atau mengalihkan anggaran sapi  yang trilyunan setiap tahun itu pada program swasembada dibidang pertanian lainnya, seperti gula, singkong, jagung atau kedelai, sayur-sayuran buah-buahan serta komoditi pangan lainnya, perikanan dengan target ekspor dan untuk menekan impor serta pengembangan industri agribisnis sebagaimana dilakukan oleh Thailand dan Vietnam, perlu dijajagi, karena tampaknya lebih realistis dan feasible. Untuk itu, pemerintah perlu membuat analisa dan melakukan studi perbandingan & assessment untuk melihat daya saing dari berbagaiindustri pangansehingga industri yang paling feasible dan memiliki best competitive advantage dapat dipilih dan ditetapkan untuk dikembangkan sebagai program swasembada pangan. Lebih baik pemerintah transparankalau memang tidak feasible. Jika yakin swasembada sapi dapat tercapai, sebaliknya pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa industri peternakan sapi saat ini bisa menjamin  pasokan yang sustainable sehingga gejolak harga daging kembali normal.

Skeptis sekali untuk dapat melihat tercapainya swasembada sapi tahun 2014. Hanya mimpi, kecuali bangsa Indonesia tidak makan daging sapi lagi. Mau makan oncom?

Catatan:

Istilah bangsa tempe atau bangsa kuli dipergunakan oleh Bung Karno didalam pidato-pidatonya yang artinya kurang lebih bangsa yang terbelakang. Tempe disini bukan berarti makanan yang kita kenal sebagai makanan yang terbuat dari kedele yang sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun