Dari perspektif investor dan kreditur,faktor utama yang dipertimbangkandidalam melakukan investasi adalah faktor legal atau kepastian hukum. Dengan dipretelinya pasal-pasal didalam UU Migas, maka otomatis UU Migas tersebut dianggap oleh investor tidak berlaku lagi. Pernyataan dan keputusan MK bahwa BP Migas adalah inkonstitusional juga menimbulkan konsekuensi hukum. BP Migas dengan sendirinya dianggap tidak pernah mempunyai kapasitas legal dan dengan itu BP Migas tidak dapat bertindak mewakili Pemerintah RI untuk menandatangani kontrak KKS dan/atau PSC (Production Sharing Contract). Dengan demikian, kontrak-kontrak konsesi minyak dan gas bumi tersebut beserta kontrak derivatifnya seperti KSO juga batal demi hukum. Dari perspektif investor dan kreditur, maka nilai konsesi minyak dan gas bumi yang dimiliki, yang diperoleh dari BP Migas tersebut, adalah nihil. Tidak ada harganya sama sekali. Kontrak konsesi hanya menjadisejumlah lembaran kertas yang tidak ada artinya dan tidak bernilai sama sekali.
Meskipun pemerintah dan Presiden SBY menyatakan bahwa kontrak-kontrak KKS/PSC tersebut masih tetap berlaku, tetapi apabila dibawa kepengadilan, maka kontrak kontrak tersebut akan dengan mudah diputus oleh pengadilan sebagai kontrak yang tidak berlaku atau invalid sebab pihak BP Migas telah dinyatakan sebagai pihak yang illegal. Secara hukum/ undang-undang , kontrak hanya dapat dinyatakan valid berlakuapabila para pihak pembuat kontrak mempunyai itikad baik dan mempunyai “kapasitas legal” untuk bertindak dan melaksanakan hak dan kewajibannya sesuaidengan terms & conditions yang telah disepakati sebagaimana dinyatakan didalam kontrak perjanjian.
Bagaimana dengan industri minerba? Sebagaimana diberitakan Detik. Com, Din Samsyuddin menyatakan bahwa Muhamaddiyah juga akan melakukan gugatan dan mengajukan judicial review terhadap UU Minerba, UU Air dan Geothermalke MK. Dengan berhasilnya gugatan Din Samsyudin terhadap UU Migas, kemungkinan dan peluang Muhamaddiyah untuk menang kembali dalam kasus Minerba, Air dan Geothermal di MK cukup besar. Sehingga bisa jadi UU tersebut akan dianggap dan dinyatakan inkonstitusional dan akan mempunyai implikasi hukum yang samaterhadap izin, IUP atau kontrak-kontrakminerba yang telah diterbitkan dan/atau ditanda-tangani oleh pemerintah.
Hal yang sangat dikhawatirkan oleh investor tentunya adalah adanya kemungkinan nasionalisasi industri migas dan minerba. Karena seperti kita ketahui, permasalahan ini sudah masuk pada ranah politik.Anything can happen! Pertanyaannya, apakah pemerintahan SBY cukup kuat secara politik untuk mempertahankan kontrak-kontrak pemerintah dengan perusahaan-perusahaan migas dan minerba yang belum jatuh tempo yang secara hukum tidak berlaku? Secara hukum melawan pengadilan? Yang jelas target Din Samsyuddin cs adalah bahwa Indonesia harus menguasai industri migas dan minerba. Apakah melalui nasionalisasi? Mungkin saja dengan dukungan politik yang diperolehnya. Anything can happen!
Dari perspektif investor, trend perkembangan kearah tersebut sudahada dan itu resiko yang harus dihadapi investor. Investor dan kreditur tentunya juga akan berupaya untuk memitigasi resiko tersebut dengan berbagai cara termasuk melalui pemerintahnya dengan tekanan politik, ekonomi dan/atau melalui gugatan hukum kepada pemerintah Indonesia sehingga investasi yang telah dilakukan tidak hilang serta merta.
Perjanjian Investor/ Perjanjian Kredit Bank dengan Perusahaan Migas.
Hampir seluruh pendanaan dan fasilitas kredit yang diperoleh oleh perusahaan migas bahwasanya bersumber dari pasar hutang dan pasar modal global; di pasar kredit sindikasi perbankan dan pasar modal luar negeri atau off-shore, dimana perjanjian kredit dan pengikatan jaminannya (berupa saham perusahaan /working interest/konsesi)menggunakan undang-undang Inggris atau sering disebut common law dengan jurisdiksi pengadilan di NY, Singapura, London, Afrika Selatan, Hong Kong, Australia, New Zealand, Canada dan negara-negara lain-lainnya yang menggunakan common law.
Salah satu klausul yang terdapat didalam perjanjian kredit tersebut disebut call default clause. Call default clause adalah klausul dimana kreditur mempunyai hak untuk menyatakan bahwa debitur telah mengalami default atau telah melakukan wan prestasi apabila salah satu persyaratan dan kondisi yang dinyatakan didalam perjanjian tidak terpenuhi oleh debitur.
Persyaratan dan kondisi atau terms & conditions tersebut termasuk pembayaran pokok dan bunga, persyaratan rasio-rasio keuangan, penyerahan berkala laporan keuangan, laporan cadangan, opini legal, perizinan konsesi, kontrak-kontrak dengan pihak ketiga, anggaran dasar, notulen rapat pengurus, undang- undang yang sah dan lain sebagainya .
Dengan clause default tersebut, bank kreditur dan investor penyedia dana dapat menerbitkan surat default kepada debitur apabila izin konsesi atau kontrak PSC, KKS dan UU Migas dimana perusahaan tersebut beroperasi dinyatakan invalid atau illegal atau bila terjadi perubahan undang-undang.
Dengan adanya pernyataan default oleh bank dan invesstor, implikasinya adalah sebagai berikut:
1.Penutupan seluruh fasilitas pinjaman kredit/ pendanaan
2.Akselarasi pembayaran pokok dan bunga atau pelunasan sekaligus
Dengan dieksekusinya call default, konsekuensinya perusahaan-perusahaan migas akan lumpuh, mati dan tidak bisa beroperasi lagi, khususnya untuk perusahaan migas yang mempunyai pinjaman sebab perusahaan tersebut tidak mempunyai modal kerja lagi untuk beroperasi karena harus melunasi seluruh hutangnya sekaligus kepada bank kreditur dan investor, walaupun tenor atau jangka waktu pinjaman tersebut belum jatuh tempo.
Didalam kontrak KKS atau PSC , seluruh fixed asset yang diinvestasikan oleh investor dan yang dipergunakan didalam operasi pengelolaan pertambangan dan produksi migas pada dasarnya adalah milik negara yang pengembaliannya dilakukan secara bertahap melalui biaya depresiasi yang dibayar melalui cost recovery berupa minyak dan gas bumi. Berdasarkan British atau common law dan dengan invalidnya kontrak konsesi tersebut, maka asset-asset tersebut kemungkinan dapat dinyatakan bukan milik negara dan dapat disita oleh bank dan investor tanpa persetujuan pengadilan apabila perusahaan migas/debitur tidak dapat melunasi hutangnya.
Meskipun demikian, call defaut sangat jarang dieksekusi atau dipergunakan oleh bank dan investor kecuali perusahaan tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup . Lead bank yang bertanggung jawab mengadminstrasikan pinjaman kredit tersebut juga harus mendapat persetujuan terlebih dahulu untuk menyatakan default dari seluruh bank peserta atau participant banks yang memberikan pinjaman, melalui voting.
Apakah call default dapat dihindari? Yang menjadi persoalan adalah apakah kontrak-kontrak lama yang invalid tersebut dapat dikonversikan atau diperbarui dengan kontrak baru yang valid sesuai dengan “terms & conditions” yang lama? Selama belum ada UU Migas yang baru atau amendemen yang disahkan oleh legislative, tampaknya kontrak-kontrak lama tidak akan dapat diperbarui karena tidak ada undang-undang yang dapat melandasi hukumnya. Apakah Peraturan Presiden yang diterbitkan pemerintah cukup kuat secara hukum? Cepat atau lambat, apabila Indonesia sudah dianggap oleh investor dan kreditur tidak mempunyai kepastian hukum lagi, maka bank kreditur dan investor akan menerbitkan “call default letter”. Dan sebagaimana telah dikemukakan,anything can happen! Nasionalisasi?Bisa jadi…sehingga call default tidak dapat dihindari.
Bagaimana implikasinya dipasar modal/bursa saham? Sell! Sell on rally! Tentu saja investor institusi dan ritel akan segera menjual/ melikuidasi portfoliosaham-saham perusahaan-perusahaan minyak, gas bumi dan mineral, batu bara yang beroperasi Indonesia.Dan sebagai alternatif investasi, untuk sementara waktu mereka akan membeli US$ lah yao… , save heaven currency. Euro? can!
Resiko Kredit Negara dan Country Rating
Untuk melakukan investasi disebuah negara,pada umumnya investor dan kreditur akan melakukan analisa resiko kredit terlebih dahulu terhadap negara dimana investor akan melakukan investasi. Analisa resiko kredit negara dapat dilakukan oleh bank atau investor secara internal atau dapat juga dilakukan dengan mengacu pada peringkat kredit yang diterbitkan oleh lembaga rating.
Lembaga rating seperti Moodys, Standard & Poor, Fitch atau lembaga rating domestik Pefindo, memberikan opini mengenai peringkat kredit berdasarkan assessment resiko kredit terhadap berbagai negara termasuk Indonesia. Peringkat kredit tersebut mengekspresikan kemampuan dan itikad suatu negara untuk memenuhi kewajibannya sesuai "terms and conditions" perjanjian kredit / obligasi dan juga mengacu pada bobot faktor resiko tertentu (fundamental ekonomi, judicial, politik, korupsi dan lain-lain). Berdasarkan analisa faktor-faktor tersebut, peringkat kredit dihitung menggunakan metode pengukuran resiko dan stress test untuk menilai resiko kredit. Peringkat kredit juga merupakan opini kualitas kredit suatu negara dan opini atas kemungkinan dan probabiltas defaultnya negara, kontrak-kontrak dan surat berharga yang diterbitkannya.
Dengan kejadian pembubaran BP Migas dan tidak adanya kejelasan atau kepastian hukum tentang UU Migas dan Minerba, maka bisa jadi peringkat negara Republik Indonesia akan diturunkan lagi dan masuk kedalam kategori tidak layak investasi. Sebagaimana diketahui, beberapa bulan yang lalu lembaga rating telah menaikkan peringkat rating Indonesia dari kategori tidak layak investasi menjadi kategori layak investasi.
Pengaruh opini mengenai peringkat suatu negara yang diterbitkan oleh lembaga rating sangat besar karena peringkat yang diterbitkan oleh lembaga rating dapat menggoyang pasar dan berdampak baik pada nilai atas surat berharga dan instrumen yang diterbitkan oleh negara yang bersangkutan maupun pada surat berharga dan instrumen yang diterbitkan oleh perusahaan yang beroperasi dan berdomisili dinegara tersebut apapun sektor industrinya. Apabila, peringkat kredit Republik Indonesia diturunkan, maka implikasi tidak hanya penurunan nilai investasi pada sektor migas dan minerba saja tetapi diseluruh sektor.
Dengan semakin tingginya resiko kredit negara Indonesia dan dikategorikannya RI sebagai negara yang tidak layak investasi, dan nilai investasinya yang anjlok, investor akan berupaya untuk menurunkan eksposur resiko kredit tersebut dengan menurunkan investasinya diseluruh sektor di Indonesia atau mereduksi country limitnya untuk Indonesia. Atau melakukan cut loss untuk meminimalisasi kerugian didalam investasinya.
Selain itu, dengan nilai investasi yang mengalami anjlok,maka tingkat bunga return atau yield curve untuk berbagai jangka waktu/tenor pinjaman kredit pemerintahyang diekspektasi dan dikehendaki oleh investor akan naik. Dengan itu, investor dapatmengkompensasikan eksposur resiko default kredit yang tinggi. Dilain pihak, pemerintah harus membayar cost of fund atau tingkat bunga yang lebih tinggi pada saat menerbitkan obligasi negara atau instrumen hutang lainnya.
Disamping itu, dapat diperkirakan bahwa arus investasi kedalam negeri untuk sementara akan mengalami penurunan atau berhentidan sebaliknya akan terjadi arus modal keluar negeri. Untuk investasi baru, tentunya para investor akan bersikap wait and see sampai ada kepastian hukum dan adanya jaminan dari pemerintah, pengadilandan MK untuk tidak melakukan nasionalisasi dan jaminan masih berlakunya izin dan kontrak-kontrak konsesi yang telah ditandatangani antara perusahaan-perusahaan migas, minerba dan geothermal dengan otoritas pemerintah, meskipun otoritas tersebut telah dinyatakan illegal/inkonstitusinal sebelumnya oleh MK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H