Pada era generasi Z ini, banyak mahasiswa gizi yang semakin tertarik untuk mengejar karir di bidang kesehatan. Menjadi seorang lulusan Sarjana Gizi merupakan langkah awal yang baik untuk mempelajari dan memahami aspek gizi yang penting dalam menjaga kesehatan masyarakat. Namun, ternyata ada perubahan yang cukup signifikan dalam industri kesehatan yang bisa mempengaruhi karir mahasiswa gizi.
UU Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah kebijakan baru yang sedang diperdebatkan di Indonesia. Dalam peraturan ini, terdapat perubahan yang cukup drastis mengenai sertifikasi profesi bagi lulusan Sarjana Gizi. Pada masa-masa sebelumnya, lulusan Sarjana Gizi diakui dan memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) yang menandakan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan sebagai ahli gizi yang kompeten. Namun, dengan adanya UU Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, hal tersebut berubah.
Menurut UU Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, lulusan Sarjana Gizi tidak lagi mendapatkan STR secara langsung setelah lulus. Mereka diwajibkan untuk melanjutkan studi profesi untuk mendapatkan sertifikasi yang valid. Meskipun langkah ini bertujuan untuk meningkatkan standar kompetensi para ahli gizi, namun tidak sedikit mahasiswa gizi yang merasa kecewa dengan kebijakan ini.
Banyak mahasiswa gizi yang merasa bahwa mereka telah mempelajari dan menguasai bidang gizi dengan baik selama menempuh pendidikan Sarjana Gizi. Mereka merasa bahwa peraturan ini seolah merendahkan kualitas pendidikan Sarjana Gizi dan mengurangi nilai dari gelar yang mereka peroleh. Selain itu, melanjutkan studi profesi juga membutuhkan waktu dan biaya tambahan yang tidak semua mahasiswa gizi mampu untuk menanggungnya.
Meskipun UU Kesehatan memiliki tujuan yang baik yaitu meningkatkan kompetensi para ahli gizi, namun perlu ada pertimbangan lebih lanjut mengenai implementasinya. Apakah lulusan Sarjana Gizi harus benar-benar melanjutkan studi profesi? Ataukah ada alternatif lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi mereka?
Dalam hal ini, pemerintah dan institusi pendidikan kesehatan perlu bekerja sama untuk menemukan solusi terbaik. Mungkin bisa saja dilakukan peninjauan kembali terhadap kurikulum pendidikan Sarjana Gizi agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri kesehatan saat ini. Selain itu, ada juga kemungkinan untuk mengadakan program pelatihan atau workshop bagi lulusan Sarjana Gizi agar dapat memperoleh kompetensi tambahan tanpa harus melanjutkan studi profesi.
Keberhasilan implementasi UU Kesehatan juga sangat tergantung pada ketersediaan fasilitas dan sumber daya pendukung yang memadai. Pemerintah perlu memastikan bahwa studi profesi menjadi lebih terjangkau dan mudah diakses oleh mahasiswa gizi. Dalam hal ini, peran pemerintah dan institusi pendidikan kesehatan sangatlah penting.
Sebagai kesimpulan, UU Kesehatan Nomer 17 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa lulusan Sarjana Gizi tidak lagi mendapatkan STR dan harus melanjutkan studi profesi menjadi perdebatan yang menarik di kalangan mahasiswa gizi. Meskipun tujuannya baik, namun perlu ada pertimbangan lebih lanjut mengenai implementasinya. Pemerintah dan institusi pendidikan kesehatan perlu bekerja sama untuk menemukan solusi terbaik agar lulusan Sarjana Gizi tetap dapat menjadi ahli gizi yang kompeten tanpa harus melanjutkan studi profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H