Mohon tunggu...
Chintya Angelin
Chintya Angelin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pariwisata UGM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyusuri Keindahan Akulturasi Budaya Tionghoa di Kampung Ketandan

8 Oktober 2024   10:50 Diperbarui: 8 Oktober 2024   11:13 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura Kampung Ketandan (dokpri)

Kebudayaan adalah suatu identitas yang menunjukkan jati diri saya sehingga saya merasa memiliki kebanggaan tersendiri ketika kebudayaan tersebut diperkenalkan kepada orang lain. Sebagai seorang bersuku Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Kota Pontianak di mana budaya Tionghoa mendominasi, saya memiliki kerinduan yang cukup besar dengan kebudayaan tersebut ketika menuntut ilmu di Kota Yogyakarta yang didominasi dengan budaya Jawa. Berangkat dari kerinduan akan budaya yang telah diwariskan kepada saya sejak lahir, saya pun memutuskan untuk mengunjungi Kampung Ketandan sebagai destinasi wisata yang akan saya telusuri.

Dilansir dari Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta, Kampung Ketandan merupakan sebuah daerah cagar budaya kampung pecinan di Yogyakarta yang menjadi saksi sejarah akulturasi antara budaya Tionghoa dan Keraton serta menjadi saksi peran masyarakat Tionghoa dalam penguatan perekonomian Jogja sejak ratusan tahun yang lalu. Letaknya yang strategis yakni di kawasan Malioboro membuat Kampung Ketandan memiliki lokasi yang strategis dan mudah untuk diakses. Terlebih lagi, terdapat gapura berarsitektur Tionghoa yang menjadi penanda kampung pecinan ini membuat pengunjung dapat langsung mengidentifikasi keberadaan destinasi ini.

Setelah melangkahkan kaki memasuki gapura, saya langsung disambut dengan berbagai macam jajanan dan makanan berat, Meskipun saya memiliki ekspektasi bahwa Kampung Ketandan akan didominasi oleh kuliner Tionghoa, namun ternyata cukup banyak kuliner khas Indonesia lainnya seperti bakso, gado-gado, soto, gudeg, dan lain sebagainya. Kebanyakan penjual makanan pun bukan beretnis Tionghoa. Menurut pengamatan saya, hal ini merupakan hasil sejarah akulturasi budaya di Kampung Ketandan terlihat dari bagaimana budaya Tionghoa dan budaya Yogyakarta sudah bercampur padu.

Selain itu, hasil akulturasi lain yang dapat ditemukan di Kampung Ketandan adalah arsitektur-arsitektur bangunan kuno yang merupakan perpaduan antara corak Tionghoa, Jawa, dan Belanda. Corak arsitektur Tionghoa dapat terlihat dari hiasan lampion, aksara China, dan berbagai ragam hias seperti bunga. Arsitektur Jawa dapat terlihat dari model atap yang dipadukan dengan model atap pelana khas Jawa. Sementara itu, arsitektur Belanda dapat terlihat dari adanya pilar-pilar penyangga dan dinding bangunan yang tebal. Arstiketur bangunon kuno ini menjadi salah satu daya tarik di Kampung Ketandan karena menjadi spot foto bagi para pengunjung.

Namun, dikarenakan sedang tidak diselenggarakan suatu festival atau hari perayaan tertentu, Kampung Ketandan cukup sepi di hari biasa. Tidak banyak wisatawan yang berlalu lalang dan tidak adanya atraksi wisata membuat Kampung Ketandan terasa lenggang dan kurang hidup. Meski begitu, kuliner chinese di Kampung Ketandan menjadi daya tarik yang menurut saya membuat destinasi ini menarik untuk dikunjungi. Kuliner chinese di Kampung Ketandan cukup beraneka ragam mulai roti hingga bakmi dan dari yang halal hingga yang non-halal sehingga dapat dinikmati oleh berbagai jenis pengunjung.

Untuk sarapan, Toko Djoen menjadi pilihan yang tepat ketika berkunjung ke Kampung Ketandan. Toko Djoen yang letaknya tak jauh dari gapura Kampung Ketandan ini merupakan salah satu toko roti tertua di Yogyakarta yang didirikan oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Liang Ngau pada tahun 1935. Meskipun telah berdiri selama hampir 90 tahun, toko roti ini masih tetap eksis dan mempertahankan citranya. Toko Roti yang terletak di Jalan Margo Mulyo ini menjual berbagai macam roti seperti roti sobek, roti tawar, dan roti pisang yang cocok untuk mengisi perut di pagi hari. Keunikan lain dari toko roti ini adalah cara produksi roti yang masih menggunakan cara tradisional yaitu dengan menggunakan oven batu jadul yang membuat cita rasa roti yang diproduksi tidak berubah sejak dulu.

Kuliner lain yang menurut saya patut dicoba di Kampung Ketandan adalah Yamie Ketandan yang letaknya persis di dalam gapura Kampung Ketandan. Lagi-lagi, saya merasakan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa yang terlihat di kedai makanan ini. Nuansa kedai ini memberikan kesan yang jadul dan bergaya tradisional Jawa, namun ditambahkan dengan berbagai hiasan khas Tionghoa seperti lampion dan tulisan aksara China. Seporsi yamie pangsit kuah yang yang terdiri atas berbagai macam kondimen berupa mie, ayam cincang, jamur, daun bawang, dan pangsit rebus sudah cukup untuk mengenyangkan perut saya. Rasanya yang gurih dan light membedakan Yamie Ketandan dari yamie khas Yogyakarta lainnya yang kebanyakan memiliki cita rasa manis. Hal ini mengingatkan saya dengan cita rasa makanan di kampung halaman saya sehingga cukup untuk mengobati rasa rindu tersebut.

Setelah selesai mengisi perut dengan macam-macam kuliner yang ada di Kampung Ketandan, saya pun kembali menelusuri destinasi ini. Tidak banyak yang dapat dilihat karena memang tidak ada atraksi yang disajikan di hari biasa, namun menurut saya cukup menarik dengan hanya melihat perumahan masyarakat Tionghoa di Kampung Ketandan yang mengingatkan saya dengan perumahan di kampung halaman saya. Lampion yang menghiasi balkon rumah, tulisan aksara China yang ditempelkan di tembok, serta nuansa-nuansa lainnya yang begitu familiar dan terasa dekat bagi saya. Melihat banyaknya toko emas di sepanjang jalan juga tak hanya mengingatkan saya dengan kampung halaman, namun juga membawa saya kepada sejarah Kampung Ketandan ketika masyarakat Tionghoa menjadi penggerak ekonomi di Yogyakarta.

Perjalanan saya kali ini terasa begitu personal karena suasananya yang familiar dan berangkat dari kebudayaan yang saya anut membuat destinasi ini mengobati rasa rindu saya kepada kampung halaman. Meskipun terdapat beberapa perbedaan seperti akulturasi antara budaya Jawa dan Tionghoa yang begitu kental di Kampung Ketandan, membuat destinasi ini semakin menarik bagi saya dikarenakan sejarahnya yang panjang. Kuliner yang beragam, arsitektur yang menarik, dan keindahan akulturasi membuat Kampung Ketandan menjadi destinasi yang patut dikunjungi di kawasan Malioboro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun