Matahari terlihat terik menutupi separuh jalan di sebuah kota yang berada di antara Gunung Ebal dan Gunung Gerizim---Nablus. Kota berusia tua yang dipenuhi wangi bangunan-bangunan bersejarah, memanjang di tepian Barat. Damaskus kecil yang tampak begitu indah berabad-abad lamanya.
Dan, seorang anak laki-laki kembali menatap jalanan tersebut dari ujung gulungan koran yang dibuatnya menjadi sebuah teropong. Ia mengernyitkan dahinya, seperti hendak mengingat-ingat sesuatu. Memicingkan salah satu matanya entah karena sinar terik yang menyengat atau agar gambaran tepi jalan yang dipandangnya menjadi semakin jelas.
Ia hanya berharap bahwa cerita pengantar tidur yang dikisahkan oleh pamannya adalah nyata. Kisah pusat perdagangan kota yang ramai dan sejahtera, bak sebuah pohon zaitun yang melimpah ruah. Pasar-pasar yang dipenuhi permadani dan tembikar, rumah penduduk dihiasi batuan alam, air sungai yang mengalir ke pusat kota, serta masjid-masjid besar yang meninggalkan jejak pemerintahan Islam. Muslim, Arab, Kristen, ataupun Persia semua dapat mencicipi nikmat kehidupan di sana.
***
Ali Al-Tamer.
Anak laki-laki yatim piatu yang memiliki alis mata tebal dan hitam pekat khas para keturunan Filastin tersebut. Tamer, begitu orang-orang terdekat memanggil dirinya. Wajah tampan dengan raut sayu yang kerap membuat ia mendapat tawaran tempat bernaung atau hanya untuk sekadar menyantap kudapan manis---Qatayef di teras rumah-rumah penduduk.
Mereka senang dengan kehadirannya. Anak 12 tahun yang hampir tidak pernah menyusahkan siapapun atas kejadian yang menimpanya. Sebuah perang yang menumbuhkannya menjadi semakin lapang dan bertanggung jawab terhadap hidup yang dimiliki, meskipun tanpa kedua orangtua yang menemani.
Tak lama, kedua matanya lagi-lagi tertumbuk pada sebuah pelataran toko berwarna biru Prusia yang setiap hari dilaluinya. Bangunan tua bertembok batu berusia 50 tahun yang menawarkan aneka manisan dalam berbagai bentuk dan warna.
"Kunafa, Tamer!"
Seorang kakek berteriak dari seberang jalan tempatnya berdiri, dan mempersilakannya untuk singgah sejenak. Namun, betapa pun ia sangat ingin mencicipi, Tamer tetap menolak kebaikan tersebut. Mungkin ia malu, sebab selalu membuat orang lain iba dan khawatir atas kehidupannya. Mungkin pula ia merasa hatinya terluka, sebagai seorang anak yang semestinya dikasihi oleh kedua orangtua. Bukan orang asing yang meskipun hangat, tetapi hanya menawarkan kebahagiaan sementara padanya.